Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

110711-senin(selasa)-sejarah mamanda

Photo: mb/ara
MAMANDA TRADISI– Pementasan Mamanda Tradisi yang digelar oleh HMJ PBSD FKIP STKIP PGRI Banjarmasin di gedung pertunjukan Balairung Sari Taman Budaya Kalsel, mengangkat naskah yang dibuat oleh Drs Sirajul Huda HM, dengan judul Kumala Naga Mirah Silautama

Mamanda Adalah Seni Drama Pertunjukan Khas Banjar

BANJARMASINKesenian mamanda sudah lama berkembang di Kalsel, terutama di perdesaan. Alur ceritanya gampang disesuaikan dengan keadaan sehingga cocok untuk ditampilkan dalam berbagai perayaan seperti pesta perkawinan, panen, maupun hari-hari besar lainnya. Pada masa kerajaan Banjar, kesenian Mamanda sangat populer.
            Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional masyarakat Banjar. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan lenong (kesenian Betawi), dan ludruk atau ketoprak (pada masyarakat Jawa), karena adanya kontak komunikasi yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
            Menurut Mukhlis Maman pemerhati seni budaya Banjar, pada Kamis (7/7) malam, menceritakan “istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja.
            Mamanda secara etimologis terdiri dari kata mama (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan nda yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu sapaan kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan” ujarnya.
            Lanjut Mukhlis “tradisi cerita dalam Mamanda, selalu menghadirkan tokoh tetap seperti wajir, mengkubumi, sultan, panglima perang, perdana menteri, permaisuri, puteri raja, pangeran, pengawal kerajaan, hadam, jin, inang, perampok dan orang kampung. Nuansa cerita seputar kerajaan inilah yang menjadi ciri khas dari mamanda, sehingga seperti menjadi sebuah pakem.
            Cirri khas lain adalah pada busana para pemain, musik pengiring seperti gendang panjang (babun), sebuah gong kecil (kempol), dan sebuah biola (piul). Musik ini, sebagaimana sandiwara, digunakan untuk mengiringi tembang dari sultan, atau hulubalang maupun dalam persembahan lagu yang diselenggarakan di istana. Kadang-kadang mamanda juga diselingi dengan lagu-lagu keroncong, atau irama melayu dari penyanyi dan grup orkes yang menyertai pementasannya” katanya.
            Dari beberapa sumber menceritakan bahwa Mamanda, yang cikal bakal kelahirannya berasal dari datangnya rombongan pedagang bangsawan Malaka pada abad ke-18, ke tanah Banjar pada 1897. Rombongan ini juga memperkenalkan bentuk kesenian baru yang bersumber dari syair Abdul Muluk Kedatangan rombongan ini dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa.
            Pada awalnya oleh masyarakat Banjar pada waktu itu, kesenian ini di beri nama Komedi Indra Bangsawan. Kemudian karena persinggungan kesenian lokal di Banjar, melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk.
            Hingga kesenian ini terus berkembang pada lagenda rakyat, cerita rakyat bahkan cerita kekinian. Sesuai perkembangan zaman, istilah Badamuluk pun berganti dengan sebutan Bamanda atau Mamanda. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar