Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Minggu, 25 Desember 2011

170211-kamis(jumat)-ahmadiyah1 (Dm.190211)


Photo: Yusran Pare

TELORANSI MASYARAKAT KALSEL TERHADAP WARGA AHMADIYAH

BANJARMASIN – Pergolakan konflik dengan warga Ahmadiyah di luar Kalimantan Selatan telah menimbulkan korban jiwa.Lalu sejauh mana warga Kalsel menerima perbedaan dan menyikapi permasalahan.
Sementara itu Komisi VIII DPR juga telah melakukan rapat dengar pendapat yang digelar di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta,  pada Rabu (16/2) dengan jajaran pengurus pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia atau JAI. Rapat dengar pendapat tersebut berhasil merumuskan sejumlah poin terkait kontroversi Ahmadiyah.
Beberapa poinnya antaralain, DPR akan mendorong pemerintah untuk menggelar dialog terus-menerus dengan melibatkan pengikut Ahmadiyah hingga ke akar rumput, juga merumuskan bahwa kekerasan atas nama agama adalah suatu hal yang tidak dapat diterima.
Sebelumnya, Yusran Pare dalam sebuah diskusi tentang Demokrasi, Pluralisme dan Kebudayaan Lokal di Banjarmasin, pada Sabtu (15/1) yang lalu mengatakan “kedewasaan akan tampak manakala warga dihadapkan pada kenyataan lain, terutama yang bersinggungan dengan unsur-unsur kesukuan, agama, ras dan antargolongan. Benih-benih kekarasan memang sesekali muncul namun segera bisa dikendalikan, sehingga tidak meluas.
Yusran kemudian menceritakan kasus konflik warga dengan kaum Ahmadiyah di Kalsel, katanya “pada waktu yang lalu, warga Kalsel menunjukkan sikap yang lebih dewasa, manakala diperhadapkan dengan isu berbau agama dan keyakinan. Ketika kaum Ahmadiyah dihujat, diusir bahkan dianiaya dibanyak tempat, warga Kalsel tidak melakukannya.
Walau ada gelombang penolakan sebagaimana terjadi pada Agustus 2008 ketika Forum Umat Islam (FUI) Kalsel mendesak pemerintah bersikap tegas membubarkan Ahmadiyah, namun penolakan ini tidak dilakukan dengan cara serangan fisik.
Forum yang terdiri atas beberapa organisasi massa Islam ini justru meminta seluruh elemen masyarakat, baik ulama, tokoh masyarakat, menghormati hasil rekomendasi Bakorpakem dan tidak melakukan aksi-aksi anarkis serta menjaga situasi agar tetap tenang dan aman” ujarnya.
Menurut Yusran “memang tampak ada saja upaya-upaya menunggangi dan menggunakan isu agama untuk kepentingan tertentu, namun tak lebih untuk kepentingan politik. Contohnya polemik yang dimunculkan terkait pembangunan gereja Katolik Santo Vinsensius A Paulo di Batulicin, saat menjelang pemilihan gubernur. Terbukti, isu ini tak cukup ampuh untuk membakar urang banua.
Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya muslim dan sangat kuat simbol-simbol religiusnya, warga Kalsel tampaknya mampu hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan warga yang berbeda agama” ungkapnya.
Tapi pada bagian terakhir diskusi, Yusran Pare juga masih mempertanyakan faktor dasar teloransi warga Kalsel “apakah ini cermin bahwa masyarakat disini yang kian tinggi pemahaman keberagamannya, akan semakin tinggi pula tingkat penerimaan dan toleransinya, atau karena faktor lain? tanyanya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar