Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 30 Desember 2011

180511-rabu(kamis)-Raudal. kopi puisi (Dm.200511)

Menu Secangkir Kopi Puisi Terasa Pahit

BANJARMASIN - Meski mengandung ketulusan, maka secangkir Kopi Puisi akan terasa pahit, kata Raudal Tanjung Banua dalam perbincangan dengan Mata Banua, untuk kesekian kalinya melalui telepon, pada Rabu (16/5) sore.
Raudal Tanjung Banua, sastrawan Indonesia yang tinggal di Yogyakarta ini, kemudian membacakan sebuah puisi “supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:/ dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu. sebab baginya/ kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar/ mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki/ dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin/menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa”
Menurut Raudal “petikan puisi diatas adalah karya Irianto Ibrahim yang tinggal di Buton. Puisi yang berjudul “Sekantong Luka dari Seorang Ibu”, tidak menghadirkan keindahan alam Buton dengan laut dan bukit-bukit karangnya. Maupun dinding-dinding kraton Wolio yang katanya terluas di dunia, atau kota Bau-bau yang terus menggeliat.
Namun ia mengambil sesuatu yang terlupakan dari Buton, yaitu pahitnya sejarah 1969. Lewat sosok seorang ibu, ia hadirkan kembali penggalan-penggalan kisah perih itu, dan sang ibu menjadi wakil dari kepedihan Buton, kepedihan kita semua. Tentu, kita tidak akan merasakan itu sebagai “menu” yang mengagetkan lidah dan perasaan, jika Anda tidak memiliki cantelan referensial tentang apa yang terjadi di Buton pada tahun itu” ujarnya.
Raudal kembali mengatakan “seorang pembaca, dituntut sama kreatifnya dengan para sastrawan, jika ia ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda dari kehidupan yang belakangan semakin monoton saja oleh penyeragaman industri dan kapitalisasi.
Oleh karena itu seorang sastrawan berbeda dari seorang penulis pop konvensional, yang biasa dengan tawar menawar trend dan selera pasar. Untuk melahirkan sebuah tulisan, seorang sastrawan melalui proses yang sangat panjang.
Karya sastrawan berasal dari pengalaman hidup, pengumpulan bahan, peristiwa yang dialami dan disaksikan. Kemudian dari bacaan dan referensi, pergaulan dan jaringan, riset atau penelitian, dan seterusnya, merupakan hal-hal yang perlu mereka miliki, sehingga “Sastrawan tidak lahir dari ruang hampa”.
Kemudian karya yang mereka suguhkan, akan berbeda dari kenyataan, tetapi mengandung makna kebenaran, walau terasa pahit untuk dirasakan” pungkasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar