Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 30 Desember 2011

190411-selasa(rabu)-seminar sejarah


Photo: mahfuz

Benang Merah Pewaris Sah Kesultanan Masih Samar

BANJARMASIN – Sejarah masa lalu sebuah daerah sangat penting untuk diketahui masyarakat dan generasi penerus, agar tergambar dengan jelas bagaimana sebuah perjuangan yang melatarinya.
Kesultanan Banjar beberapa waktu ini ramai dibicarakan, baik dari pandangan positif ataupun negatif. Terlebih kritik dari para tokoh budaya daerah terhadap keberadaan kesultanan itu sendiri, serta konflik internal dari para pewarisnya.
Kesultanan Banjar dalam Persfektif Sejarah, adalah judul makalah yang dipaparkan oleh Prof Helius Sjamsuddin Phd MA Guru Besar UPI Bandung. Judul makalah yang juga menjadi tema dalam Seminar Nasional Kesejarahan, yang diadakan oleh Prodi Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, pada 16 April 2011 yang lalu.
Milda Fahrina, ketua panitia seminar saat wawancara dengan Mata Banua mengatakan “terkait adanya pro kontra masyarakat terhadap kesultanan Banjar, yang baru dieksistensikan kembali pada 12 Desember 2010 yang lalu. Maka kami sebagai calon pendidik, hanya menggamblangkan sejarah yang ada. Selanjutnya tergantung masyarakat yang menilai apakah hendak disetujui atau tidak.
Menurut kami sebagai mahasiswa, tidak masalah dengan adanya sebuah kesultanan, bila hanya sebagai simbol budaya saja. Kami berharap, dengan adanya kesultanan akan meningkatkan budaya daerah” ujarnya.
Lanjut Milda “pada sisi lain, adanya konflik internal yang berkembang antara sesama keturunan kesultanan Banjar, baik yang ada di Kalsel maupun yang berada di luar Kalimantan, tepatnya di Indragiri, yang juga mengklaim sebagai pewaris resmi kesultanan Banjar. Maka perlu untuk di cari jalan tengahnya.
Sebab, ketidak pedulian keturunan yang saat ini mengeksiskan diri di Kalsel terhadap keturunan kesultanan Banjar lain yang diluar Kalsel, akan menimbulkan pandangan yang tidak baik di tengah masyarakat. Seperti adanya tujuan lain yang lebih pada muatan politis. Bukan murni untuk mengangkat seni dan budaya.
Pandangan lain, bila konflik ini tidak disikapi secepatnya, bahwa masyarakat akan menilai bahwa, mengatasi konflik sesama keturunan sendiri saja masih tidak bisa, bagaimana mengatasi kultur dan budaya Banjar sendiri yang juga lebih beragam” katanya seusai seminar.
Erwin Akbar, mantan ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah (Himase) FKIP Unlam Banjarmasin, menambahkan “imej yang ada khususnya di tengah masyarakat, banyak yang mempertanyakan, mengapa kesultanan ini cuma baru sekarang di eksistensikan? Kenapa tidak dari dulu! Sehingga pendapat yang berkembang, lebih tertuju pada unsur politik.
Kemudian, ketika kesultanan sudah di eksistensikan, maka ke tidak berpihakan terhadap kesenian tradisional, adalah hal yang penting. Baik itu kesenian Islami ataupun kesenian yang non Islami, terutama ditempat dimana kesultanan itu dieksiskan yaitu di Martapura. Karena ini semua akan menjadi catatan sejarah, bila memang mereka mengeksiskan diri sebagai pengayom budaya” ujarnya.
Lanjut Erwin “mengenai konflik internal pewaris keraton Banjar, sangat perlu dicari benang merah sejarah yang benar. Agar permasalahan adanya dua klaim pewaris kesultanan, yang sama-sama mengaku pewaris sah, bisa dipertemukan dan diluruskan.
Sejarah sendiri tidak berpihak, sejarah hanya mencatat sejauh mana perkembangan yang terjadi” pungkasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar