Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Kamis, 01 Maret 2012

100212-jumat(sabtu)-bag.1 pers merdeka sastra punya suara (Dm.140212 di Berita Kaki).doc

Photo:
- Drs H Noor Hidayat Sultan
- Buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945)

(Bagian Pertama) Memperingati Hari Pers
Pers Merdeka, Sastra Punya Suara, Media Massa Menjadi Abadi

Untuk Memperingati Hari Pers 2012, para sastrawan juga mendengungkan tema Pers Merdeka, Sastra Punya Suara. Melalui karya-karya sastrawan, pikiran dan suara-suara anak bangsa turut pula didengungkan.

Sepanjang sejarah sastra, peran pers sangatlah besar. Melalui penerbitan koran/majalah karya-karya sastrawan dapat diketahui masyarakat. Di tinjau dari kepentingan informasi instant, politis dan bisnis, maka karya sastra hanya diminati segelintir orang. Hal inilah yang menyebabkan karya sastra terkadang tidak mempunyai ruang khusus dalam sebagian media massa.
Disisi lain, walau hanya diminati segelintir orang, karya sastra yang dimuat sebagian media massa, menjadi abadi. Karena dijadikan referensi, kliping dan catatan sejarah perjalalan sastra itu sendiri. Baik yang dilakukan perorangan, instansi terkait, lembaga pendidikan khususnya siswa yang mendapat tugas dari gurunya. Ini berlaku pula untuk informasi seni budaya secara umumnya.
Dari pengamatan Mata Banua, dalam tugas makalah, tugas skripsi ataupun buku-buku yang dibuat oleh sastrawan. Maka akan tercantum nama media massa yang memuat karya tersebut. Ini adalah timbal balik yang sebenarnya saling menguntungkan, tetapi hanya di lirik oleh segelintir media massa.
Bisa dikatakan media massa yang mengapresiasi karya sastra dan informasi seni budaya, akan menjadi abadi pula, selama bumi masih ada.
Menengok kembali kebelakang, melihat dari catatan sejarah bagaimana awal mula kebangkitan Pers dan Sastra Koran di bumi Lambung Mangkurat. Terkait dengan perkembangan sastra di Kalsel, Taman Budaya (TB) Kalsel telah membuat sebuah buku yang berjudul Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945).
Dalam buku ini juga disinggung bagaimana perkembangan Pers dan Sastra Koran. Buku yang mempunyai latar sampul warna coklat, dan dengan ketebalan 172 halaman, di terbitkan pada akhir 2011. Beberapa tim Dokumentasi, penggali dan nara sumber buku, antara lain Drs Fahrurrazie, Drs Mukhlis Maman, Aman Waloyo SSn dan Tajudin Noor Ganie MPd.
Sayangnya karena persoalan dana, membuat buku ini hanya dicetak terbatas dan diperuntukkan untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan umum dan sekolah.
Beberapa waktu yang lalu, kepada Mata Banua, Kepala TB Kalsel, Drs H Noor Hidayat Sultan menceritakan sebagian isi buku tersebut, termasuk yang berkaitan dengan Pers dan Sastra Koran.
Menurutnya, semua informasi yang ada dalam buku adalah dari tulisan-tulisan yang tercecer di mana-mana, baik di media cetak, catatan-catatan, makalah dll.
Sejarah kesusastraan Indonesia modern di Kalsel identik dengan sastra koran/majalah dan buku, maka yang harus dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan lagi koran/majalah tempo dulu. Tapi terbatas pada koran/majalah yang hanya mempunyai rubrik sastra, sebab tidak semua koran/majalah mempunyainya.
Tidak mudah menggali dan mengumpulkan lagi data sastra sebelum perang. Sebab buku-buku sastra koleksi perorangan, koleksi instansi/lembaga dokumentasi dan perpustakaan ini, tersebar di dalam daerah maupun di luar Kalsel. Data ini adalah harta karun perkembangan sastra Kalsel, dan ini adalah pekerjaan besar.
Pada era 1909-1916, Alexander WF Idenburg menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Saat itulah pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan politik etis di tanah jajahannya. Sekolah untuk kalangan menengah pribumi (kaum bangsawan, birokrat, hartawan) mulai dibuka di berbagai kota di Hindia Belanda.
Kebijakan membangun sekolah menengah, ternyata hanya berlaku di kota-kota besar di pulau Jawa. Sedangkan di Banjarmasin situasinya tidak berubah. Terbukti, sampai dengan 1909, sekolah yang ada cuma Sekolah Kelas II. Sekolah itu dibangun 1906 oleh Johannes van Weert, Residen Borneo Selatan (Borsel). Sampai akhir masa jabatannya (1911), Johannes tidak membangun sekolah baru.
Sekolah HIS (Holland Indische School) baru di bangun di Banjarmasin pada 1913, oleh Residen LFJ Rycman. Dua puluh empat tahun kemudian (1913), Residen Moggenstrom membangun MOLO (Midlebaar Uitgebreid Loger Onderwijs).
Sehubungan adanya politik etis, pemerintah Belanda juga memperbolehkan wartawan pribumi menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu). ara/mb02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar