Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Kamis, 01 Maret 2012

120212-minggu(senin)-bag.3 Dokumen Yang Berharga (di Berita kaki).doc

Photo:
- Drs H Noor Hidayat Sultan
- Buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945)
- Kliping-kliping informasi sastra dan seni budaya di media massa

(Bagian Ketiga) Memperingati Hari Pers
Informasi Sastra dan Seni Budaya Merupakan Dokumen Yang Berharga

Di era 1930 disimpulakn , surat kabar Suara Kalimantan dan Bintang Borneo (Banjarmasin), menandai awal kesusastraan Indonesia modern di Borneo Selatan (Borsel/ Kalsel)

Para sastrawan tentu sangat berterimakasih dengan media massa yang turut membantu mempublikasikan karyanya, apalagi dengan menyediakan kolom tersendiri.
Diantara sekian banyak orang yang tidak peduli dengan informasi sastra dan seni budaya umumnya, di media massa. Maka akan selalu ada segelintir orang, yang dengan setia dan intens mengumpulkan serta mengkliping semua informasi sastra dan seni budaya tersebut.
Kliping inilah yang menjadi bukti sejarah, kepedulian media massa terhadap sastra dan seni budaya. Serta menjadi informasi yang berharga terhadapa perjalanan dan perkembangan sastra dan seni budaya.
Menurut Kepala Taman Budaya Kalsel (TB), Drs H Noor Hidayat Sultan, mengenai buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945), yang diterbitkan TB Kalsel.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penggalian untuk buku sastra ini, adalah pendekatan sejarah sastra. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan merekontruksi sejarah sastra, berdasarkan bahan-bahan dokumentasi.
Dokumen yang dikumpulkan dari media massa koran/ majalah dan buku-buku sastra. Baik dokumen yang berisi paparan sastrawan, dan berita tentang aktivitas sastra/ sastrawan.
Sejarah penerbitan surat kabar di Borsel, sebetulnya sudah dimulai pada 1905. Saat itu, Mozes Neis menerbitkan Sinar Borneo, dan Liem Kok In menerbitkan Pengharapan. Namun dua surat kabar ini bukan milik pribumi.
Mozes Neis adalah orang Belanda, dan Liem Kok In adalah orang Tionghoa. Mozes Neis lebih memihak kepentingan pemerintah kolonial Belanda, daripada kepentingan pribumi.
Sementara Liem Kok In, lebih tertarik menjadi warga Negara Republik Rakyat Cina (yang saat itu baru diproklamasikan Dr Sun Yat Sen) daripada menjadi warga Negara Republik Indonesia (yang saat itu masih berupa wacana).
Selain tidak sepenuhnya menggunkan bahasa Indonesia (Melayu), Sinar Borneo dan Pengharapan tidak memuat berita, feature, opini, dan karya sastra dengan semangat Sumpah Pemuda, ide-ide nasionalisme bangsa Indonesia, atau gagasan Indonesia merdeka.
Berbeda ketika Anang Abdullah Hamidan menerbitkan Suara Kalimanta pada 1930-an. Bangsa Indonesia yang tinggal di Borsel dan warga Hindia Belanda lainnya, sedang dimabuk euforia Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Dokumentasi data surat kabar Suara Kalimantan, edisi September 1932 memuat puisi karya pembaca (IAB/ nama samaran) yang berjudul Syair Tiga Sejalan. Sebagian dari isi puisi tersebut antara lain:
Banjar itu ibuku/ Tanah tumpah darahku/ Kalimantan menjadi suku/ Indonesia jumlah bangsaku// Kejadian baru berselang/ OKL suara garang/ Bangsa Banjar diserang/ Dihina di muka orang// Kita tidak bersalah/ Tentu berhati susah/ orang boleh timbanglah/ Betapa rasanya gundah// …//
Ampun tidak bersangkut/ Kepada menonton turut/ Masing-masing tidak dipaut/ Merdeka untuk menyahut// …// Nasihat lipat berganda/ Sudah kita terima/ Suruh tegak pun tidak/ Masing-masing hati merdeka// Melihat pemandangan lalu/ Banjar merasa tentu/ Nama bangsa diganggu/ Sabar rupanya perlu// …//
Derajat kepada bangsa/ Segenap pelosok dunia/ Dijunjung oleh anaknya/ Dipuja pada hatinya// Selamat kita ucapkan/ Kepada pembaca sekalian/ Saudara se Kalimantan/ Terimalah salam kebangsaan (teks asli ditulis dengan ejaan Van Ophnysen). ara/mb02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar