Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Kamis, 01 Maret 2012

140212-selasa(rabu)-bag.6 Media Massa Dan Sastra Era Jepang (di Berita kaki).doc

Photo:
- Drs H Noor Hidayat Sultan
- Buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945)
- Kliping-kliping informasi sastra dan seni budaya di media massa

(Bagian Keenam-habis) Peringatan Hari Pers
Media Massa Dan Sastra Era Jepang di Borsel

Selayaknya untuk dikatakan, bahwa hanya untuk mempublikasika karya sastra tempo dulu (1930-1945), penuh dengan perjuangan darah dan air mata. Pada era kolonial Belanda dibayangi penjara dan pada era Jepang media massa diberangus serta di kontrol.

Keterbatasan waktu dan minimnya anggaran membuat penggalian tak dapat dilakukan maksimal. Masih banyak karya sastrawan Kalsel zaman Belanda (1930-1945) dan zaman Jepang (1942-1945) yang belum tergali.
Sebab penggalian lebih jauh, dapat dilacak di perpustakaan, lembaga arsip dan dokumentasi, sekurangnya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, yang kesemuanya berada di Jakarta.
Hal ini diungkapkan oleh oleh Kepala Taman Budaya Kalsel (TB), Drs H Noor Hidayat Sultan, mengenai buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945), yang diterbitkan TB Kalsel.
Selama zaman Jepang (1942-1945), gairah bersastra di Kalsel di dukung 6 koran/majalah yang membuka rubrik secara berkala. Dukungan yang telah menciptakan kondisi bagi lahirnya kelompok sastrawan Kalsel zaman Jepang. Koran/majalah tersebut yaitu:
Surat kabar Kalimantan Raya (Banjarmasin), surat kabar Borneo Shimbun (Banjarmasin), dan surat kabar Borneo Shimbun (Kandangan). Kemudian majalah Purnama Raya (Kandangan), majalah Puspa Wangi (Kandangan), dan majalah Pawana (Rantau).
Pada 10 Februari 1942, tanpa perlawanan berarti, pasukan Kaigun/Rikugun Jepang merebut Banjarmasin dari tangan Belanda. Namun sebelum jatuh ke tangan Jepang, Belanda telah membumi hanguskan sarana dan prasarana vital di Banjarmasin.
Percetakan Suara Kalimantan milik AA Hamidhan juga menjadi sasaran pengrusakan. Setelah berusaha keras Hamidhan berhasil memperbaiki mesin cetaknya, dan pada 5 Maret 1942 kembali menerbitkan Kalimantan Raya.
Tidak lama berselang, komandan pasukan Kaigun Jepang melarang penerbitan Kalimantan Raya. Hamidhan dan wartawan lainnya dipekerjakan di Borneo Shimbun (Banjarmasin), di bawah kendali Jepang.
Hal yang sama juga terjadi pada wartawan majalah Purnama Raya, majalah Puspa Wangi, dan majalah Pawana. Ketiganya dilarang menerbitkan majalahnya dan dipekerjakan di Borneo Shimbun (Kandangan).
Akibatnya tidak ada pilihan lain bagi sastrawan Kalsel, kecuali mempublikasikan karyanya di Borneo Simbun. Meskipun karya-karya sastrawan dikontrol, tetapi Jepang memberikan honorarium atas karya yang dimuat. Honorarium puisi antara 3 sampai 4 ringgit, cerpen 10 ringgit (menurut data Arthum Artha di Tabloid Wanyi, Banjarmasin, edisi 12/ September 1996).
Selain mempublikasikan karyanya di Borneo Shimbun, sastrawan Kalsel juga mempublikasikan karya di majalah yang terbit di luar daerah, antara lain:
Majalah Waktu, majalah Taman Siswa, dan majalah Panca Warna (ketiganya di Medan). Lalu majalah Bhakti (Denpasar), majalah Kebudayaan Timur (Jakarta), majalah Pustaka Timur (Yogyakarta), majalah Terang Bulan (Surabaya), dan majalah Sastrawan (Malang).
Majalah-majalah tersebut juga dibawah pengawasan Jepang. Bahkan majalah Kebudayaan Timur dan Pustaka Timur diterbitkan oleh Jepang sendiri.
Sastrawan generasi zaman Jepang (1942-1945) antara lain:
Abubakar Razi, Ahmad Samidri, Ahmad Zakaria (Ahzar), Aliansyah Ludji, Anggraini Antemas, Asyikin Noor Zuhry, Fakhruddin Mohani, Gusti Maswan, Husien Razak, Ilham Se Banjar, Maseri Matali, SM Darul, Sir Rosihan, Syahran Syahdan, Tanar Eka, Zafury Zumry, dan Zainal.
Menurut Noor Hidayat Sultan, mengenai buku Sastra Indonesia Modern Di Kalimantan Selatan, Sebelum Perang (1930-1945) ini, adalah kumpulan dari tulisan-tulisan yang dimuat dan tercecer dimana-mana. Ia menganggap masih banyak data yang kurang, karena masih banyak catatan maupun kliping sastra di masyarakat.
“Dengan adanya buku ini, mudah-mudahan ini bisa memberi motifasi. Mungkin saja akhirnya masyarakat yang mempunyai data, dan setelah dibandingkan dengan data yang ada dalam buku, lalu merasa masih ada kekurangan. Selanjutnya dapat memberikan masukan sebagai pelengkap untuk edisi buku sastra akan datang” ujarnya dengan Mata Banua beberapa waktu yang lalu. ara/mb02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar