Pamong Budaya Madya Taman Budaya (TB) Kalsel, Mukhlis Maman menuturkan “pasar tradisional tidak muncul karena disediakan tempat atau lahan oleh penguasa daerah, tapi ia muncul dengan sendirinya.
Pada suatu perkampungan atau daerah yang pada awalnya tidak ada pasar, karena kebutuhan akan jual beli, maka entah dilakukan peduduk setempat atau pendatang yang akan memulai berjualan. Ini dalam masyarakat kita disebut pasar sajumput, karena hanya menjual beberapa kebutuhan pokok tertentu saja.
Lama kelamaan, karena mulai banyak yang berjualan di tempat tersebut, dan ramai dikunjungi masyarakat yang berbelanja, hingga akhirnya menjadi sebuah pasar yang lengkap menjual kebutuhan masyarakat.
Pasar tradisional memang sering terkesan kumuh dan tidak beraturan, apabila dipandang dari sudut tata kota atau daerah, maupun konsep pasar moderen. Tetapi walau kumuh dan tidak beraturan, bukan berarti tidak mempunyai nilai kearifan lokal. Masyarakat tradisional lebih mengerti dan tahu, akan tata ruang yang memberikan kemudahan bagi mereka dalam jual beli.
Seperti yang sudah kita lihat, bila sebuah pasar tradisional dicampuri oleh peraturan pemerintah demi tata ruang, lalu pasar tersebut dirubah, atau di pindah pada lahan yang disediakan. Secara perlahan pasar tersebut akan sepi, dan pada akhirnya akan mati.
Sudah banyak pembangunan pasar yang dilakukan pemerintah kota , ataupun kabupaten. Setelah selesai, maka para pedagang tradisional yang berusaha dimodernkan tadi. dituntut untuk menebus harga toko atau membayar sewa.
Pedagang yang menempati toko baru, tidak bertahan lama, hanya dalam hitungan bulan, satu persatu toko tersebut akan kembali kosong, ditinggalkan oleh pedagang. Tentu saja hal ini dikarenakan pembeli yang semakin sepi, hingga mereka tidak sanggup lagi untuk membayar harga sewa toko. Kemudian pedagang tadi, akan kembali mencari pasar tradisional lain, yang bisa memenuhi kebutuhan jual beli mereka” ujarnya.
Menurut Mukhlis “kebiasaan lain dari pasar tradisional, yaitu yang bersifat musiman atau tidak tetap, yang hanya buka pada hari-hari tertentu. Ini oleh masyarakat Banjar disebut pasar batungging, atau dinamakan sesuai dengan hari bukanya pasar. Seperti Pasar Ahad, Pasar Arba dan lain-lain.
Karena tidak mempunyai wadah yang tetap, pada satu tempat untuk berjualan seperti bak atau toko. Penjual hanya menggelar dagangannya di atas tanah, dengan dialasi terpal atau alas yang lain. Sambil berjongkok atau batungging, pembeli memilih barang yang diinginkan.
Sebutan untuk pedagang pasar batungging, yaitu pedagang keliling atau dalam bahasa Banjarnya manyasah pasar.
Pasar-pasar seperti ini, tidak bisa diintervensi lebih jauh agar tertib, karena tumbuh dengan sendirinya. Campur tangan pemerintah yang terlampau jauh, hanya mempercepat proses kematiannya.
Apalagi bila intervensi tersebut hanya karena proyek, yang tidak mengindahkan kultur budaya masyarakat tradisional dalam jual beli” pungkas Pemerhati Budaya Banjar ini dengan panjang lebar, pada Rabu (20/10) siang di TB Kalsel. ara/mb05
-----------------
Di setor Kamis, 21 Oktober 2010
Di muat Sabtu, 23 Oktober 2010/ 15 Dzulkaidah 1431 H
- dengan judul Punya Nilai Kearifan Lokal
- kolom Kotaku, Mata Banua halaman 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar