Kehadiran sajak-sajak Micky Hidayat (dalam antologi puisi Meditasi Rindu) yang lirih menggemakan kembali kerinduan kita pada suara alam yang asali, seperti lantunan seruling ditengah ingar-bingar rock dan organ tunggal; ibarat nyanyi burung ditengah sirene yang menggambarkan hutan yang terbakar, ibarat bisik ditengah riuh demo dan debat parlemen" ujarnya.
Kritikus sastra Nasional ini kembali berkomentar “tetap menulis sajak-sajak - diterima maupun tidak, digubris maupun diabaikan, dicintai maupun dibenci - adalah sikap hidup sekaligus kredo MIcky. Menulis sajak adalah jalan yang dipilih dengan tegas oleh penyair sebagai cara hadir sang penyair ketengah dunia ini. Menulis sajak adalah pilihan dan jalan hidup yang diletakkannya atas dasar kerinduan, kesepian, luka, dan cinta" katanya.
Micky Hidayat menceritakan bagaimana awal perjalanan sastranya "saya mulai belajar menulis sajak ketika masih duduk di kelas 1 SMP Negeri 2 Banjarmasin. Sudah barang tentu, dalam setiap menulis sajak itu sama sekali tak terpikirkan sedikitpun di benak saya, apakah diri saya sudah menjadi seorang penyair atau bukan. Apalagi keinginan untuk jadi penyair, jauh panggang dari api. Waktu itu saya menulis atau menciptakan sajak hanya sekedar iseng ingin menulis, tidak ada pretensi meraih predikat sebagai penyair.
Saya selalu tak kuasa menolak keinginan naluri untuk terus berkarya. Gagasan yang lalu lalang dan berkelebat-kelebat dalam benak seolah tak bisa dibendung. Bagi saya, bergelut dengan dunia sajak pada hakikatnya merupakan sebuah wacana yang memungkinkan saya untuk mengalami kembali kehidupan, membuat saya terlibat lebih intens dalam menjalani kehidupan ini" pungkasnya. ara/mb05
-----------------
Di masukkan di kolom Kotaku, Mata Banua – Tidak di muat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar