Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 01 Juni 2012

010512-selasa(rabu)-sejarah hardiknas (di berita kaki).doc


Mengingat Kembali Roh Hardiknas

Pendidikan adalah fondasi suatu bangsa atau Negara, karena keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan negara tersebut. Dan Tan Malaka mengatakan “Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan”.
            Beragam masalah masih menghantui dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari lembaga pendidikannya sendiri (sekolah), yang menjadi tumpuan untuk mendidik generasi-generasi bangsa yang berkualitas. Maupun instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional.
            Apalagi dengan adanya kebijakan Ujian Nasional yang diberlakukan sejak 2004, hingga kini terus menuai kontroversi tiada henti. Ditambah dengan komersialisasi dunia pendidikan, yang memperlihatkan dengan gamblang adanya diskriminasi antara si kaya dan si miskin.
            Selasa (1/5) sore, satu SMS diterima Mata Banua, dari Edhi S Mukaffa SAg salah satu pengajar di SMPN 4 Banjarbaru. Katanya “aku sedih bila mengingat kenyataan sejarah, bagaimana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) terlahir, hingga kenyataan dunia pendidikan yang kini dihadapi”. SMS ini menggelitik untuk membuka kembali lembaran sejarah Hardiknas.
            Sangat banyak desakan dari pemerhati dunia pendidikan nasional, agar bangsa ini kembali kepada Roh pendidikan. Seperti yang diwariskan Ki Hajar Dewantara, yang tercakup dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, sekolah dan pendidikan masyarakat. Dimana siswa sebagai subjek pendidikan, sedangkan realitasnya penyimpangan pelaksanaan pendidikan bangsa ini, telah menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.
Diskriminasi pendidikan telah mencederai roh pendidikan itu sendiri. Bila dilihat dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak menerima pendidikan yang layak. Dengan adanya RSBI Dan SBI tentu membuat pendidikan itu menjadi terswastanisasi sehingga menjadi mahal. 
Masyarakat mendapat angin segar setelah dinaikkannya anggaran untuk pendidikan menjadi 20 persen dari APBN, tetapi tak membuat uang sekolah menjadi lebih murah.
            Praktik komersialisasi pendidikan kian menjamur di setiap tingkatan pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu bukti adanya komersialisasi, meski di lembaga pendidikan milik pemerintah sekalipun.
Melambungnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Realitasnya, MBS di Indonesia lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
            Kalaupun tri pusat pendidikan dan siswa sebagai subjek didengungkan oleh Dinas Pendidikan dan Kementrian Pendidikan, ditambah dengan pendidikan karakter, dalam prakteknya hanya sebatas slogan.
            Pada peringatan Hardiknas 2 Mei 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil tema “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada press conference berkaitan dengan rencana peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012 di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senin (30/4). Bahwa tahun sekarang (2012) adalah tahun menanam (generasi emas), investasi. Tema Hardiknas 2012 disesuaikan dengan rencana besar Kemdikbud untuk mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka (2045).
            Membangkitkan generasi emas Indonesia, ataukah roh pendidikan yang lebih utama untuk dihidupkan kembali dan dilaksanakan, bukan hanya dikatakan untuk menjadi tema dan slogan saja?
            Bapak Pendidikan Nasional, Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara (KHD), lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun.
Soewardi atau KHD adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. KHD adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tertanggal 28 November 1959).
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu, mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Karena salah satu tulisannya, Soewardi diasingkan ke negeri Belanda. Kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli "Als ik eens Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat tulisan ini, ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD danTjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai Tiga Serangkai. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Disinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi, dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte. Suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Soewardi kembali ke Indonesia pada September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada 3 Juli 1922, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung).
Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, serta menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.
Kenyataannya kini, budaya-budaya asing lebih membekas dalam jiwa putra-putri bangsa, dan kasus-kasus korupsi kian merambah serta menggurita dalam dunia pendidikan. ara/mb02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar