Mengingat Kembali Roh Hardiknas
Pendidikan adalah fondasi suatu bangsa atau Negara,
karena keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan negara
tersebut. Dan Tan Malaka mengatakan “Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh
dengan pendidikan kerakyatan”.
Beragam
masalah masih menghantui dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari lembaga
pendidikannya sendiri (sekolah), yang menjadi tumpuan untuk mendidik
generasi-generasi bangsa yang berkualitas. Maupun instansi pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional.
Apalagi
dengan adanya kebijakan Ujian Nasional yang diberlakukan sejak 2004, hingga
kini terus menuai kontroversi tiada henti. Ditambah dengan komersialisasi dunia
pendidikan, yang memperlihatkan dengan gamblang adanya diskriminasi antara si
kaya dan si miskin.
Selasa
(1/5) sore, satu SMS diterima Mata Banua, dari Edhi S Mukaffa SAg salah
satu pengajar di SMPN 4 Banjarbaru. Katanya “aku sedih bila mengingat kenyataan
sejarah, bagaimana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) terlahir, hingga
kenyataan dunia pendidikan yang kini dihadapi”. SMS ini menggelitik untuk
membuka kembali lembaran sejarah Hardiknas.
Sangat
banyak desakan dari pemerhati dunia pendidikan nasional, agar bangsa ini
kembali kepada Roh pendidikan. Seperti yang diwariskan Ki Hajar Dewantara, yang
tercakup dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, sekolah dan
pendidikan masyarakat. Dimana siswa sebagai subjek pendidikan, sedangkan
realitasnya penyimpangan pelaksanaan pendidikan bangsa ini, telah menempatkan
siswa sebagai obyek pendidikan.
Diskriminasi pendidikan telah
mencederai roh pendidikan itu sendiri. Bila dilihat dalam UUD 1945 Pasal
31 Ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak menerima pendidikan yang layak.
Dengan adanya RSBI Dan SBI tentu membuat pendidikan itu menjadi terswastanisasi
sehingga menjadi mahal.
Masyarakat mendapat angin segar
setelah dinaikkannya anggaran untuk pendidikan menjadi 20 persen dari APBN,
tetapi tak membuat uang sekolah menjadi lebih murah.
Praktik
komersialisasi pendidikan kian menjamur di setiap tingkatan pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu bukti adanya komersialisasi, meski
di lembaga pendidikan milik pemerintah sekalipun.
Melambungnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan manajemen
berbasis sekolah (MBS). Realitasnya, MBS di Indonesia lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Kalaupun
tri pusat pendidikan dan siswa sebagai subjek didengungkan oleh Dinas
Pendidikan dan Kementrian Pendidikan, ditambah dengan pendidikan karakter, dalam
prakteknya hanya sebatas slogan.
Pada peringatan
Hardiknas 2 Mei 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengambil tema “Bangkitnya
Generasi Emas Indonesia”.
Menurut Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh pada press conference berkaitan dengan rencana
peringatan Hari Pendidikan Nasional 2012 di Gedung A Kemdikbud Senayan,
Jakarta, Senin (30/4). Bahwa tahun sekarang (2012) adalah tahun menanam
(generasi emas), investasi. Tema Hardiknas 2012 disesuaikan dengan rencana
besar Kemdikbud untuk mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia
merdeka (2045).
Membangkitkan
generasi emas Indonesia,
ataukah roh pendidikan yang lebih utama untuk dihidupkan kembali dan
dilaksanakan, bukan hanya dikatakan untuk menjadi tema dan slogan saja?
Bapak Pendidikan
Nasional, Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki
Hajar Dewantara (KHD), lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 – meninggal di
Yogyakarta, 26
April 1959 pada
umur 69 tahun.
Soewardi atau KHD adalah aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
KHD adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang
diperingati di Indonesia
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang
ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tertanggal 28
November 1959).
Selain ulet sebagai seorang
wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak
berdirinya Boedi
Oetomo pada 1908. Ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada
waktu itu, mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara.
Karena salah satu tulisannya,
Soewardi diasingkan ke negeri Belanda. Kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli "Als ik eens
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan
DD, tahun 1913.
Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan
tulisan tersebut antara lain:
"Sekiranya aku
seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan
di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh
si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita
keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat tulisan ini, ia ditangkap
atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan
ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua
rekannya, DD danTjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga
diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda,
Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Disinilah ia kemudian merintis
cita-citanya memajukan kaum pribumi, dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akte. Suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam
mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Soewardi kembali ke Indonesia pada September
1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang ia dirikan pada 3 Juli 1922, Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Saat ia genap berusia 40 tahun
menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan
yang dipakainya sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia.
Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (di
depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung).
Semboyan ini masih tetap dipakai
dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia,
serta menjadi slogan
Departemen Pendidikan
Nasional.
Kenyataannya kini, budaya-budaya
asing lebih membekas dalam jiwa putra-putri bangsa, dan kasus-kasus korupsi
kian merambah serta menggurita dalam dunia pendidikan. ara/mb02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar