Bila dalang Ucuk juga tidak ada lagi, maka regenerasi dalang yang bagus tidak ada lagi. Sedangkan dari beberapa dalang muda, tidak bisa diharapkan. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan harus segera diantisipasi bersama, antara pemerintah daerah, tokoh budaya dan masyarakat Banjarmasin ” ujarnya pada Rabu (10/11) pagi di Taman Budaya Kalsel.
Bagaimana sejarah wayang kulit Banjar, dari beberapa sumber menyebutkan, bahwa masyarakat Banjar di Kalsel, telah mengenal pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV. Pernyataan ini diperkuat oleh sejarah penyebaran agama Hindu, dengan jalan pertunjukan wayang kulit, pada kisaran 1300 sd 1400 M, oleh Kerajaan Majapahit yang telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik Riwut, 1993).
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Andayaningrat, membawa serta seorang dalang wayang kulit, bernama R. Sakar Sungsang lengkap dengan pengrawitnya. Pegelarannya langsung (sesuai pakem tradisi Jawa ), lebih banyak menggunakan repertoar dan ideom-ideom Jawa. Tentunya akan sulit dimengerti masyarakat setempat, sehingga kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar.
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan, dan melegenda pada masa itu, antara lain almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang), almarhum Ki Surono (Banjarnegara), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta), Ki Anom Suroto, Ki Mantep Sudarsono, Ki Enthus Susmono. Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.
Saat memudarnya kerajaan Majapahit dan mulai berdirinya kerajaan Islam (1526 M), pertunjukan wayang kulit mulai diadaptasi, dengan muatan-muatan lokal, yang dipelopori oleh Datuk Toya. Penyesuaian itu terus berlangsung sampai abad ke-XVI, perlahan-lahan wayang kulit berubah, sesuai dengan citra rasa dan estetika masyarakat Banjar. ara/mb05
-----------------
Di setor Rabu, 10 Nopember 2010
Di muat Sabtu, 13 Nopember 2010/ 06 Dzulhijjah 1431 H
- dengan judul Generasi Terakhir Dalang Tua
- kolom Kotaku, Mata Banua halaman 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar