Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 24 Februari 2012

150112-minggu(senin)-gumam asa2.doc

Photo: Sainul Hermawan

Aforisma Sastra Dalam Gumam


BANJARMASIN – Sastra dalam beragam alirannya, mempunyai genre yang bermacam-macam. Salah satu genre yang belakangan ini menjadi pembicaraan di Kalsel adalah Guman. Gumam sendiri diperkenalkan oleh Ali Syamsudin Arsi (ASA), penyair Kalsel yang telah menghasilkan empat buku genre Gumam.
Menurut Sainul Hermawan, beberapa waktu yang lalu, indikasi karakteristik wacana dalam buku kumpulan Gumam ASA, bisa disebut salah satu genre sastra yang bernama aforisma (aforisme).
Aforisma biasanya berupa pernyataan-pernyataan singkat berisi kebenaran subyektif yang disampaikan secara lisan, ataupun dengan tulisan prosais ataupun puitik yang mengulang-ulang kata, frase, atau kalimat.
Bahkan pengulangan kata, frase atau kalimat, ketiganya dipermainkan dengan bahasa yang tak tertata. Ini sebagai bentuk pembangkangan kreatif terhadap tatanan berbahasa untuk menyegarkan persepsi pembaca yang serba otomatis, dengan mengaduk-aduk konvensi bahasa dalam pikiran.
Dalam buku kumpulan gumam ASA, penulisnya sendiri menanyakan, apakah Gumam termasuk dalam salah satu jenis penulisan sastra? Meski ASA menyerahkan jawaban pada keputusan pembaca dalam segala kemungkinan tafsirnya. Kalau Emha Ainun Nadjib, menyederhanakan yang rumit. Sebaliknya Gumam merumitkan yang sederhana sekaligus yang rumit.
Sebagai sebuah permainan bahasa, makna Gumam akan dapat dipahami dengan baik jika tahu aturan mainnya. Untuk itulah dalam catatan kreatifnya ASA tampak mencoba menggagas aturan main.
Pertama, bahasa Gumam adalah bahasa yang liar. Kedua, dalam keliaran itu dia menyelipkan pesan yang dapat diraih secara keseluruhan, atau sebagian saja dalam bentuk percikan atau bias. Ketiga, akrobat kata-kata dalam Gumam ini bukan sekadar sarana melainkan juga sasaran.
Karakteristik teks Gumam, bisa di baca dari mana saja. Bisa dari awal, belakang, dari tengah, bisa satu baris atau beberapa baris, satu paragraph atau beberapa paragraph. Sebab peranti kohesi dan koherensi sebagai fasilititas tekstual untuk memahami hubungan antarkata, antarparagraf, dan antarbab, banyak diabaikan dan ini salah satu faktor penyebab rumitnya Gumam ASA.
Meski ada pertanyaan, mengapa dalam Gumam ASA tidak ditemukan tanda tanya, dan meski banyak seruan, tanda seru tak satupun digunakan.
Gumam ASA memang tak sepenuhnya patuh pada aturan penulisan tanda baca titik atau koma. Tampak keinginan penulis untuk tak terlalu sibuk menyandingkan sastra dan bahasa. ASA membiarkan estetika mengalir semaunya tanpa kekangan tata bahasa. Namun konvensi penulisan kata masih tetap dipatuhi.
Ada sebagian isi buku Gumam ASA yang bisa dibaca sebagai prosa naratif, dan sangat banyak berupa prosa lirik atau puisi yang ditampilkan dengan tifografi prosa, dan ada puisi dalam tifografi bait per-bait.
“Wajar jika ada pembaca, yang sudah terbiasa dengan bacaan yang mudah diterima persepsi, akan sulit memahami Gumam. Karena memang bahasa Gumam jungkir-balik, dan aneh, meski jika dipahami dengan pelan akan ditemukan pesan yang ingin disampaikan. Cara terbaik menikmati Gumam ASA, bukan dengan mulai menanyakan mana pangkal dan ujungnya. Nikmatilah seperti anak kecil menikmati hujan” ujar Sainul, staf pengajar FKIP Unlam ini. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar