PT di Kalsel Belum Mampu Melahirkan Kritikus Sastra
BANJARMASIN – Beberapa waktu yang lalu menjadi perdebatan yang panjang diantara para sastrawan Kalsel, mengenai pentingnya kritikus sastra. Apalagi ketika Sainul Hermawan mengatakan bahwa Kalsel krisis kritikus sastra.
Menurut Sainul beberapa waktu yang lalu. Tanpa ada kritik sastra, peningkatan kualitas sastra akan menjadi lambat. Begitu pula dengan banyaknya penulis yang berkembang dengan pesat, khususnya penulis karya sastra seperti puisi. Itu tidak menjamin akan mutu, apabila tidak ada orang-orang yang mejadi kritikusnya, karena tidak ada yang menilai sebuah karya secara akademisi.
Sedangkan para pengkritik sastra secara lisan, itu sangat banyak. Bisa saja sambil minum kopi di warung, lalu membicarakan sebuah karya sastra, mengulasnya dan mengkritisinya.
“Kritik secara lisan, tidak akan bisa secara panjang lebar dan mendetail. Yang diperlukan adalah kritik panjang secara tertulis, rasional dan memiliki dasar argumentasi yang kuat” ujarnya.
Perdebatan akhirnya mengarah kepada institusi pendidikan yang akan melahirkan kritikus sastra. Apakah kurikulum Perguruan Tinggi (PT) di Kalsel, sudah mengajarkan tentang kritik sastra? Sudah sejauh mana pengajarannya? Berapa ratus sarjana yang sudah dihasilkan selama ini?
Pada Selasa (7/2) siang, Drs Rustam Effendi MPd PHd, staf pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), ia menjelaskan.
Bahwa kurikulum PT di Kalsel, khususnya pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, hanya untuk menjadi guru bahasa Indonesia. Belum bisa untuk menjadi kritikus sastra yang sesungguhnya.
Katakanlah ini salahnya kurikulum. Pendidikannnya ada, teorinya ada. Tapi teorinya sedikit sekali, sehingga kalau lulus (menjadi sarjana) hanya sebagai guru sastra, tidak menjadi ahli sastra.
Sekedar menilai karya sastra biasa (murid-muridnya) masih bisa saja dilakukan. Sedangkan untuk karya sastra yang lebih besar (karya sastrawan), tidak memungkinkan. Sebab analisanya terlalu dangkal.
“Sewaktu saya menjadi Dekan FKIP Unlam, saya mewajibkan mahasiswa membaca buku-buku/ karya sastra. Sehingga mahasiswa mengenal karya sastra. Dan dibawah asuhan Sainul Hermawan, mata kuliah kritik sastra secara intens diajarkan. Kemudian Dekan berikutnya di FKIP, tentu berubah kebijakan” ujarnya. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar