BANJARMASIN – Desa atau kampung adalah sebuah tempat istimewa, indah bagi orang kota. Berbagai model outbound diprogamkan untuk melakukan aktivitas, mengalihkan rutinitas terhimpit kesibukan yang penuh dengan topeng kepalsuan. Perilaku orang desa yang lugu dan polos, jauh dari sikap hipokrit, menjadi tontonan.
Bagaimana gambaran paradoks kehidupan orang kota, harapan yang hilang dari orang tua di desa, serta ekspansi kapitalisme dan kolonialisme tanah-tanah desa, di mata seniman.
Pementasan Teater Api Indonesia (TAI) dari Surabaya di gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalsel, memang sudah berlalu beberapa waktu yang lalu, yaitu pada Jumat (20/1) malam.
Menanggapi permasalahan orang kota dan ekspansi tanah desa, Luhur Kayungga yang juga sebagai sutradara dan salah satu aktor dari lakon Brongkos, menuturkan pemikiran Slamet Hendro Kusumo, dari kota wisata Batu.
Orang-orang tua desa yang menyekolahkan anaknya di kota, hingga sarjana. Berharap agar anak tersebut bisa melanjutkan kelangsungan kultural desa. Tapi anak-anak ini telah mengalami perpindahan pola pikir dan mutasi selera hidup.
Desa ditinggalkan anak-anak harapan, lahan-lahan terlantar karena orang-orang tua yang tersisa, tak mampu menggerakkan tulang tuanya. Kefrustasian itu berlangsung pada penjualan lahan. Seiring drama sedih perpindahan dan penguasaan lahan warisan kultural, eksistensi mitologi, legenda bahkan situs purbakala menjadi tidak terlacak.
Kalaupun ada festival mengangkat tema tersebut, tidak lebih hanya sebagai tontonan kewajiban rutin, bukan kebutuhan ritual. Hanya untuk memenuhi tuntutan proyek penguasa. Tidak ada kaitannya dengan perjalanan spiritual pada kearifan lokal. Oleh karena itu struktur dalam menjaga cagar budaya tidak terbentuk.
Pastinya banyak kepentingan terselubung, melakukan permainan untuk interest pribadi maupun kelompok. Missal makam jadi mall, punden jadi pos hansip. Lingkungan tanpa sadar digiring pada kepentingan fungsi, bukan ekologis.
Cerita penguasaan tanah adat, menjadi modus operandi untuk memperluas kekuasaan capital, jauh dari sikap populis maupun moral. Kapitalisme dan kolonialisme telah melakukan metamorfosis. Bentuk dari tindakannya jauh lebih halus. Semua ruang disiplin telah dimasuki, hingga ruang kebudayaan.
Dan situasi ini dianggap cara bijak dan kompromis. Apakah pakai topeng pariwisata, kesejahteraan masyarakat, pembudidayaan, tetap saja masyarakat sebagai obyek. Situasi yang merasuk hingga pelosok terpencil sudut negeri, merampas ekologi suku pedalaman.
Pertanyaannya, masih adakah sisa ruang yang dapat dipertahankan, desa maupun kampung, ataupun tanah suku pedalaman, dengan konsep yang humanis? Diperlukan relawan dan siap jadi wadal, sebab sikap itu akan membuat ketidaknyamanan penguasa.
“Hal inilah yang mendasari perjalanan pentas keliling TAI, dengan harapan regulasi adat lebih dihormati. Ketimbang regulasi nasional, yang tidak berpihak pada masyarakat” ujar Luhur Kayungga. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar