Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

031111-kamis(jumat)-jeruk makan jeruk dr Jamal

Photo: Jamal T Suryanata

Jeruk Makan Jeruk

BANJARMASIN – Tanpa ada kritik sastra, peningkatan kualitas sastra akan menjadi lambat. Seberapapun banyaknya karya sastra, tidak menjamin akan mutu, apabila tidak ada orang-orang yang mejadi kritikusnya, karena tidak ada yang menilai sebuah karya, ungkap Sainul Hermawan beberapa waktu yang lalu.
Menurut Jamal T Suryanata, ia sempat mendiskusikan dengan Sainul, tentang situasi Kalsel yang krisis kritikus sastra, pada akhirnya untuk mengatasi keadaan tersebut, Sainul mengusulkan mengapa Tidak Jeruk Makan Jeruk saja, artinya sastrawan yang satu mengkritik karya sastra yang lain, dan begitu pula sebaliknya.
“Saat ini kami berdua (Sainul Hermawan dan Jamal T Suryanata), yang dianggap memiliki kompetensi di bidang kritik sastra, maka kamilah yang dikatakan paling bertanggung jawab, untuk mengembangkan kritik sastra, sementara yang lain tidak mau membaca dan belajar bagaimana mengkritik sastra, ini persolan juga. Karena yang lain hanya mau menjadi pihak penghasil karya saja.
Kalau kita ingin membesarkan karya sastra di Kalsel, mau tidak mau semua harus menggalakkannya. Kemudian kritik sastra tersebut, tidak hanya disuarakan di tingkat lokal, tetapi juga di tingkat nasional” kata Jamal seusai Seminar Nasional Sastra Indonesia, yang diselenggarakan oleh Prodi Bahasa Indonesia FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin.
Sementara, Tajuddin Noor Ganie mengutarakan keengganan sastrawan, mengkritisi karya sastra sastrawan lain.
“Kritikus sastra memang posisi yang serba sulit, terlalu mengkritik dimusuhi sastrawan, terlalu memuji dicurigai, dikatakan kawannya. Apalagi bila kritikus sastra itu, dari kalangan sastrawan itu sendiri.
Yang lebih edial, kritikus sastra berasal dari dari kalangan akademis atau perguruan tinggi” ujarnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar