Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

111011-selasa(rabu)-sastrawan masa kerajaan banjar (Dm.131011)

Photo: Tajuddin Noor Ganie MPd

Sastrawan Islami Kalsel Masa Kolonial

BANJARMASIN – Sebelum runtuhnya kerajaan Banjar dan memasuki era kolonial, di kenal beberapa sastrawan yang aktif menulis karya sastra Islami.
            Menurut Tajuddin Noor Ganie MPd, beberapa waktu yang lalu, ketika Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Adam (1825-1857), di kenal luas beberapa orang sastrawan yang aktif menulis sastra dan karyanya sangat mendalam secara Islami, yakni Haji Pangeran Musa Martapura dengan Syair Limbangan dan Syair Mayat.
Beberapa bait dari dua syair tersebut yaitu:
Syair Limbangan// Bismillah itu mulanya firman/ Telah tersurat maknanya Qur’an/ Terang di hati jatuh ke tangan/ Dengan takdir nugraha Tuhan/ Pahalanya sembahyang tiada kepalang/ Sepuluh perkara yang terbilang/ Kepada iman menjadi tiang/ Lagi di akherat berat ditimbang.
Sementara Syair Mayat ada 16 baris, bagian pertama berbunyi, Syair Mayat// Alkisah tersebut suatu madah/ Menghambur nyawa tatkala pindah/ Tubuh lesu urat pun lemah/ Jangan lupa akan dzikir Allah// dst.
Kemudian ada lagi sastrawan Islami lainnya, seperti Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura (Syair Tajul Muluk), dan Gusti Zaibal Marabahan (Syair Nur Muhammad).
Paska runtuhnya Kerajaan Banjar pada 1905, wilayah selatan pulau Kalimantan berada di bawah pemerintahan kolonial Residen Belanda yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta).
Pada masa kolonial ini, dikenal luas seorang penulis karya sastra Islami kelahiran desa Dalam Pagar Martapura, yakni Tuan Guru Sapat Abdurrahman Shiddiq (1867-1939). Karya sastranya yang dikenal luas di Nusantara adalah Syair Ibarat dan Khabar Kiamat.
“Sepengetahuanku, tidak banyak orang di Kalsel yang mengetahui tentang apa dan bagaimana isi ke dua syair tersebut, termasuk diriku. Aku hanya mengetahui bahwa ada dua judul syair karya Tuan Guru Sapat Abdurrahman Shiddiq, hanya itu. Sampai sekarang aku berusaha mencari isi syair tersebut, dan masih belum menemukannya.
Boleh jadi, tidak ada seorang pun di Kalsel ini pula yang memiliki naskahnya atau tulisannya, karena kitab syair ini diterbitkan di Singapura pada 1925, dengan menggunakan tulisan arab gundul” ujarnya. ara/mb05


Tidak ada komentar:

Posting Komentar