Sastra Kalsel Periode Sebelum Perang
“Apa yang akan kuketengahkan, bukan untuk mencari siapa yang salah, dan siapa yang tidak lengkap dalam memaparkan perkembangan sastra daerah. Tetapi, sebagai pembanding untuk memperkaya pengetahuan sejarah sastra daerah.
Dari perbandingan tersebut, dapat ditarik garis kesimpulan yang akhirnya membuat catatan sejarah sastra kita menjadi lebih lengkap. Setelah membongkar-bongkar arsip lama, alhamdulillah aku masih menyimpan buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel, yang berupa stensilan, diterbitkan Depdikbud Kanwil Prov Kalsel, Proyek Pusat Pengenbangan Kesenian Kalsel 1975/1976.
Karena pada 90-an, kantor ini terbakar, arsip Data Seni Budaya yang lainnya entahlah apakah dapat diselamatkan. Buku ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan kesastraan Kalsel pada masa itu.
Perkembangan kesastraan Kalsel, tentu saja tidak terlepas dari perkembangan kesastraan Indonesia , karena sastrawannya ikut memberikan andilnya bagi perkembangan kesastraan Indonesia . Ini tampak dalam periode-periode perkembangannya dari masing-masing periode” ujarnya pada Rabu (12/10) pagi.
Menurut Arsyad, informasi ini merujuk pada Data-Data Kesenian Daerah Kalsel tersebut, yang dalam pembagiannya ada 5 lima periode, yaitu Periode Sebelum Perang, Periode Pendudukan Jepang/ Revolusi Fisik, Periode 50-an, Periode 60-an, dan Periode 70-an.
Pada Periode Sebelum Perang, yang paling menonjol adalah Merayu Sukma (nama aslinya adalah Muhammad Sulaiman). Beberapa bukunya antara lain:
Putra Mahkota Yang Terbuang (roman sejarah), Yurni Yusri (roman detektif), Kunang-Kunang Kuning (roman detektif), Sinar Memecah Rahasia (roman detektif), Berlindung dibalik Tabir (roman), Jiwa yang Disiksa Dosa (roman), dan Jurang Meminta Korban (roman).
Hampir semua bukunya diterbitkan di Medan . Sayangnya buku-bukunya ini tidak dicetak ulang sehingga sulit didapat. Masa produktifitasnya terhenti pada era 50-an, sampai akhir hayatnya.
Penulis lainnya adalah Arthum Artha ,karyanya berupa cerpen banyak dimuat di majalah Terang Bulan (Surabaya ). Selain cerpen ia menulis roman antara lain:
Gadis Zaman Kartini (Gemilang, 1949, Kandangan), Tahanan Yang Hilang (Pustaka Dirgahayu, 1950, Balikpapan), Kepada Kekasihku Rokhayanah (Mayang Mekar, 1951, Banjarmasin). Puisi-puisinya juga bertebaran di majalah Mimbar Indonesia , Siasat/Gelanggang, Indonesia , Pelopor, Mutiara, Zenith, Gajahmada dan lain-lain.
Pada periode ini muncul pula Maseri Matali (Kandangan), dan puncak karyanya menjelang akhir revolusi fisik sampai 1952. Ia satu-satunya Penyair Kalsel yang disoroti kritikus HB Yassin.
Puisi-puisinya umumnya dimuat di Mimbar Indonesia , Pancawarna, Waktu dan Bakhti. Ia dianggap penyair yang kuat pada zamannya. Ia tidak sempat menerbitkan semua karyanya dalam satu antologi. Tetapi setahun setelah ia wafat (1969), sebanyak 15 puisinya dibukukan oleh D Zauhidhie dkk, dalam judul Nyala (stensilan).
Kemudian ada pula M Yusuf Aziddin, Mugeni Jafri, Haspan Hadna. Karya-karya mereka hampir tak pernah dibaca oleh generasi berikutnya karena di samping tidak banyak juga tidak pernah dibukukan.
“Apabila semua karya ini, masih bisa dicari jejaknya, ada kemungkinan masih bisa diketemukan bukti fisik dari karya-karya tersebut. Walau memerlukan usaha yang sangat keras” pungkas Arsyad Indradi yang dijuluki Si Penyair Gila. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar