Photo: Drs Mukhlis Maman
Kegiatan Turun Temurun Warga Jangan Dipolitisasi
Hal ini diungkapkan oleh pemerhati budaya Banjar, Drs Mukhlis Maman di Taman Budaya Kalsel pada Rabu (12/12) pagi yang lalu, kepada Mata Banua. Mukhlis mengkoreksi gagasan dari wakil ketua DPRD kota Banjarmasin Andi Effedsi SPd, dan Politisi PKS DPRD kota Banjarmasin Aliansyah pada peringatan hari asyura Selasa (6/12).
Menurut Mukhlis, sangat tidak tepat kalau dua tokoh politik ini, meminta pemerintah daerah menjadi penggagas peringatan hari asyura, bila ditujukan untuk orang Banjar. Apalagi bila pemerintah daerah sebagai pemprakarsa untuk menggalakkannya. Begitupula pemikiran agar pemerintah daerah mensosialisasikan dan melestarikan peringatan asyura, sebagai budaya tahunan Islam.
Ia mempersilahkan ke dua tokoh politik ini, untuk melihat tradisi bubur asyura secara langsung, di kelurahan ataupun di RT-RT yang ada di Kota Banjarmasin . Selalu saja ada warga yang melaksanakan peringatan hari asyura. Bahkan warga di Kalsel melakukannya.
“Membuat bubur asyura sudah menjadi tradisi orang Banjar, tidak perlu digagas, diprakarsai, digalakkan, disosialisasikan atau di lestarikan lagi. Apabila pemikiran ke dua tokoh politik ini ditujukan untuk komplek perumahan elit, yang di sana tidak ada orang Banjar. Maka itu mungkin saja dilaksanakan” katanya.
Keinginan orang Banjar melaksanakan peringatan 10 Muharram, tidak karena ada yang memprakarsai. Tapi tergerak dari keinginan masyarakat itu sendiri, yang sudah tertanam nilai-nilai kebersamaan. Sedang dari sisi agama, menjadi media untuk mengingat kembali dan mengambil hikmah dari berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi pada para Nabi dan Rasul.
Walau tidak semua orang Banjar memahami makna sebenarnya peringatan 10 Muharram. Ada yang mengerti dengan maksud mengadakan acara bubur asyura. Ada pula yang hanya menikmati ramainya, menikmati keasyikan berkumpulnya ketika memasak bubur asyura ini. Sebab sudah menjadi tradisi. Bagi laki-laki biasanya di isi dengan kegiatan membaca burdah atau lainnya. Sementara wanitanya memasak bubur secara bergotong royong.
Kegiatan membuat bubur asyura adalah kegiatan mandiri dari masyarakat. Musatkan kegiatan bubur asyura hanya pada titik-titik lokasi tertentu, malah menyebabkan kecemburuan sosial. Kemudian apabila cuma dipusatkan hanya pada satu lokasi, bagaimana dengan kegiatannya sendiri yang ada dalam masyarakat.
“Sebuah tradisi masyarakat yang telah berlangsung turun temurun, lalu momennya dimanfaatkan untuk aktivitas politik. Sangat tidak baik di rasa dan dipandang mata. Sepatutnya kegiatan turun temurun warga jangan dipolitisasi” ujar Mukhlis. ara/mb05
Betul itu... Jangan bonceng tradisi yg sudah mengakar untuk kepentingan politis...
BalasHapus