Mamanda Periuk, Mamanda Masyarakat Sungai
Menurut Drs Mukhlis Maman, Mamanda Periuk di daerah ini, biasanya dipagelarkan pada pesta perkawinan, pesta panen dan untuk membayar nazar (nadir). Khusus mamanda yang dipagelarkan untuk nazar, disajikan cerita-cerita dalam kisah Abdul Muluk, seperti cerita Ibrahim bin Hasan.
Teater mamanda di daerah Hulu Sungai, masih pula mengawali pertenjukannya dengan upacara-upacara yang dianggap sakral. Dan ada pula beberapa pantangan yang bila dilanggar akan mempengaruhi kehidupan si pelanggar. Baik secara individu, kelompok seniman, atau warga desa.
Misalnya tidak boleh mengadakan pertunjukan di bulan Syawal dan Sapar, karena dianggap bulan yang panas atau bulan na’as. Atau mengadakan pertunjukan pada malam dan siang Jumat, karena pada hari itu adalah saat orang melakukan tadarus Al Qu;an.
Dari bentuk penyelenggara mamanda, ada dua istilah yang digunakan yaitu batapak dan pahadring. Batapak dilakukan oleh suatu komunitas atau desa, sedang pahadring dilakukan secara individual.
Pementasan secara batapak dan pahadring, tempat pagelaran diberi pagar. Sehingga orang yang ingin menonton (apabila ingin masuk), harus membayar. Bedanya, keuntungan (uang) yang dihasilkan dari pementasan secara batapak adalah untuk orang banyak, seperti membuat jalan desa atau membangun masjid. Sementara mahadring, keuntungannya hanya untuk kepentingan si penyelenggara sendiri (individual).
Pertunjukan pada masa itu tidak menggunakan panggung, hanya diatas tanah. Dan kadang-kadang menggunakan atap (serubung/ serobong) yang dihiasi janur. Kemudian disekelilingnya diletakkan kursi untuk penonton.
Bagian belakang serubung diberi pintu tempat pemain keluar masuk arena pertunjukan. Di bagian muka arena diletakkan sebuah meja dengan kursi di bagian kiri-kanannya. Meja berfungsi sebagai tempat persidangan, sedang kursi yang di sebelah kanan disiapkan untuk mangkubumi, dan yang disebelah kiri untuk wajir. Dibagian belakang atau disamping serubung dibangun balai lawang sari, yang berfungsi sebagai tempat berganti pakaian pemain.
Unsur lagu pada teater Mamanda Periuk berasal dari syair Arab, dengan irama lagu berkelok-kelok seperti batang banyu (sungai yang mengalir), dan temponya terdengar lebih panjang dari pada lagu teater Mamanda Tubau.
Cerita yang digelar dalam teater Mamanda Pariuk, seperti hikayat Si Miskin, hikayat Marakarna, hikayat Cindera Hasan dalam cerita 1001 malam. “Yang patut pula diketahui dalam pementasan Mamanda Priuk di masa itu, adalah kuatnya tradisi masyarakat. Yaitu penonton wanita dan pria duduknya terpisah, saling berhadapan tapi dibatasi oleh tempat pertunjukan” ujar Mukhlis, pada Rabu (21/12) sore. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar