Photo: D Zawawi Imron
Penyair Harus Tampil Dengan Bahasanya Sendiri
Zawawi pernah datang ke Kalsel, pada Aruh Sastra Kalsel pertama 2004 di Kandangan, dan Aruh Sastra ke tiga 2006 di Kotabaru, sebagai pembicara dalam seminar sastra.
Membicarakan sebuah kejujuran dalam karya, Mata Banua berbincang dengan Zawawi via telepon, pada Jumat (21/10) sore. Walau dengan bahasa yang sangat halus, ia mengungkapkan arti sebuah kejujuran dalam karya.
“Pada makalahku yang berjudul Cermin Kata Di Batas Laut, dalam Aruh Sastra ke tiga, yang aku tulis untuk antologi puisi Eko Suryadi WS yang berjudul Di Batas Laut. Dalam pemaparanku tersebut, terselip arti kejujuran sebuah karya, silahkan kau cari kembali makalahnya, dan kau simak kembali apa yang telah aku katakan” ujarnya.
Menurut Zawawi, nurani memang harus bicara, betapapun kecilnya persoalan. Sekecil-kecil persoalan, jika diterjemahkan kedalam bahasa keindahan yang memadai, akan menjadi puisi yang baik.
Proses penerjemahan dalam olah seni itu, tentu didahului oleh keterlibatan batin, yang bukan hanya berhenti pada obsesi. Tetapi harus terjadi pergumulan, dialog, olah pikir, olah rasa dan olah bahasa, sehingga terjemahan dari peristiwa batin itu tampil ke dunia menjadi puisi.
Kata-kata otentik menjadi nilai tersendiri bagi puisi, karena puisi adalah pernyataan diri yang menggunakan kata-kata atau bahasa. Maksudnya, seorang penyair yang kreatif punya tugas untuk tidak meminjam kalimat penyair lain (mengambil atau mengakui kalimat penyair lain, menjadi milik sendiri).
Setiap penyair, kata Sutardji Calzoum Bachri, harus lahir dan tampil dengan bahasanya sendiri. Bahasa yang otentik dan menunjukkan sosok kepribadiannya sendiri, yang membedakan dirinya dengan orang lain. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar