Photo: mb/ara
NUANSA LOKAL – Pementasan teater nuansa lokal dari kabupaten HSS yang berjudul Galuh, pada Pekan Kemilau Banua Seribu Sungai, di Taman Budaya Kalsel, membawa penonton hingga klimaks pertunjukkan
Garapan Apik Warna Lokal
Seberapa Banyak Kreativitas Penulis Naskah Teater Kalsel
Ditengah keterbatasan finansial sebuah kelompok teater, tetap kreatif dan mengutamakan kualitas, lalu mengangkat tema lokal, ditaburi nuansa mistik, diselingi tari-tarian dan totalitas karakter dari tokoh yang dimainkan, serta pesan sosial terhadap kondisi kekinian, menjadi suatu suguhan yang langka
SATU MINGGU lagi, Taman Budaya Kalsel akan menggelar Lomba Teaterikal Puisi, tepatnya Sabtu 29 Oktober 2011, dimulai dari pukul 09.00 Wita sampai dengan selesai. Tidak salah kalau kembali membicarakan suatu pementasan yang berkualitas, yang kental dengan nuansa tradisi lokal.
Siapa yang tidak kenal dengan kata intan. Keindahan batu alam yang memukau kaum wanita di seluruh dunia ini, menjadi perhiasan yang mahal harganya.
Dibalik keindahan intan, dalam tradisi masyarakat Banjar, pada proses pencariannya yang disebut mandulang, sangat kental dengan nuansa mistik, yaitu kepercayaan terhadap hal gaib yang menyelimutinya.
Menjadi sangat menarik lagi, ketika kreativitas penulis naskah teater Kalsel, mengangkat tema cerita intan dan mandulang, ditaburi nuansa mistik, diselingi tari-tarian dan totalitas karakter dari tokoh yang dimainkan.
Membuka kembali catatan kegiatan pentas teater, dalam Gelar Seni Budaya - Pekan Kemilau Banua Seribu Sungai di Taman Budaya (TB) Kalsel, 07 sd 16 Juli 2011 yang lalu. Pada Rabu 13 Juli 2011, pukul 20.00 Wita di gedung Gedung Balairung Sari TB Kalsel, menyuguhankan pementasan teater dari Posko La Bastari Kandangan, kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), yang berjudul Galuh.
La Bastari, menampilkan pementasan warna lokal dengan garapan yang apik, dipadukan dengan tari-tarian daerah, diselingi nuansa mistik. Tata panggung yang menghadirkan keadaan pendulangan intan, memberikan gambaran situasi yang melingkari misteri para pencari intan. Penghayatan dan penjiwaan tokoh dan peran dari pemain yang total, membawa penonton hingga klimaks pertunjukan.
Beberapa dialog dari pemain juga menyelipkan kritik sosial, terhadap ekspansi perkebunan yang menjarah tanah masyarakat, dan tidak peduli terhadap keseimbangan lingkungan.
Pementasan teater dari kabupaten HSS ini, menceritakan tentang sekelompok pendulang melakukan ritual pemujaan Batara Kala, meminta dipertemukan dengan Galuh, sang penguasa kawasan pendulangan.
Hingga Galuh Mayang Sari Kemilau, sang penguasa kerajaan Awang-Awang Kemilau menampakkan diri, seraya memperlihatkan sebongkah intan besar. Tetapi intan akan diserahkan jika para pendulang memenuhi persyaratan, yaitu palas darah atau tumbal manusia.
Seusai pertunjukan, Burhanuddin Soebely selaku sutradara yang juga bekerja di Dinas Pariwisata HSS, menjabat Kabid Kesenian, menjelaskan kepada Mata Banua.
Katanya, walau kami hanya latihan satu bulan, kami berusaha tampil maksimal. Intisari dari pementasan ini, menceritakan tentang kawasan pendulangan, yang mempunyai banyak misteri yang harus diungkap, dan ada persentuhan antara kawasan pendulangan dengan dunia lain atau dunia gaib.
Masyarakat mempercayai, bahwa dibalik kawasan pendulangan ada orang-orang halus, yang kemudian kita kombinasikan dengan realitas yang ada, bahwa dua dunia ini tidak bisa bersentuhan.
Sedangkan pesan dari naskah yang kami bawakan, bahwa kadang-kadang orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, dan hal-hal seperti itu bukan hal yang bagus. Namun, lingkungan dunia gaib juga harus dihormati di kawasan pendulangan tersebut.
Menurut Burhanuddin, La Bastari semenjak didirikan dari 1979, selalu terpusat pada warna lokal, dan menceritakan tentang daerah. Terakhir La Bastari menampilkan pementasan teater di Banjarmasin pada 1998, selanjutnya hanya tampil di dalam daerah kabupaten HSS saja.
“Karena hari ini kepala TB memfasilitasi untuk tampil, kami manfaatkan dengan sebaiknya. Kedepannya kami akan melakukan regenerasi dulu dalam La Bastari, karena cukup sulit mencari penerus generasi muda” ujarnya.
Ida Nurlaila, salah seorang pemeran ibu, yang anaknya dijadikan tumbal dalam pementasan Galuh, menambahkan “aku sudah ikut bergabung dalam La Bastari, semenjak SMP yaitu sekitar 1989. Walaupun dukungan pemerintah kabupaten HSU kurang terhadap kami, tapi kami tetap berusaha menampilkan yang terbaik” pungkasnya. ara/mb02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar