Photo: Sainul Hermawan
Kalsel Krisis Kritikus Sastra
BANJARMASIN – Nilai dari sebuah karya sastra, bukan dilihat dari kuantitas sebuah karya yang dihasilkan, tapi dari kualitas karya tersebut, ungkap Raudal Tanjung Banua, dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Kasisab Institut pada Kamis (13/10) siang di Taman Budaya Kalsel.
Raudal, sastrawan Yogyakarta ini singgah sebentar di Banjarmasin , bersilaturahmi dengan beberapa sastrawan Kalsel, kemudian pada sore harinya meneruskan perjalanannya ke Kotabaru.
Berkaitan dengan kualitas, beberapa waktu yang lalu Sainul Hermawan, telah lebih dulu membicarakannya dengan Mata Banua.
“Di Indonesia ini, karya sastra itu lebih banyak terbit dari pada kritik sastra, apalagi kalau di perkecil pada level daerah. Karya sastra lebih banyak diciptakan, dari pada karya kritik. Ada seratus karya sastra diciptakan, belum tentu satu kritik sastra muncul. Karya kritik sangat minim sekali.
Tanpa ada kritik sastra, peningkatan kualitas sastra akan menjadi lambat. Begitu pula dengan banyaknya penulis yang berkembang dengan pesat, khususnya penulis karya sastra seperti puisi. Itu tidak menjamin akan mutu, apabila tidak ada orang-orang yang mejadi kritikusnya, karena tidak ada yang menilai sebuah karya secara akademisi.
Aku ingin di Kalsel ini, yang kuat agama mendalami kritik sastra religius. Sehingga, tahu apa yang harus diamati dalam sebuah sastra religius. Kemudian ada kritik sastra filosofis, atau tasawuf dll” ujarnya.
Menurut pengajar FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini, para pengkritik secara lisan, itu sangat banyak. Bisa saja sambil minum kopi di warung, lalu membicarakan sebuah karya sastra, mengulasnya dan mengkritisinya.
“Kritik secara lisan, tidak akan bisa secara panjang lebar dan mendetail. Yang diperlukan adalah kritik panjang secara tertulis, rasional dan memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Lalu apakah orang lapangan bisa menjadi kritikus, sudah pasti bisa. Orang lapangan yang saya maksud, adalah seorang sastrawan atau penyair atau cerpenis dll. Hanya saja, apabila ia mau menjadi kritikus sastra, ia memerlukan pengetahuan teori sastra yang lebih mendalam, secara akademis.
Begitu pula sebaliknya, seorang akademisi bisa saja menjadi orang lapangan. Tetapi tidak ada seseorang, yang sempurna dalam dua bidang sekaligus. Akan ada bagian yang menjadi lemah dalam penguasaannya. Walaupun antara keduanya saling berkaitan. Kesimpulannya, memang harus ada yang spesialisasi dalam bidang tertentu, dan Kalsel krisis kritikus sastra” pungkasnya. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar