Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 30 Desember 2011

010411-jumat(sabtu)-lamut3.jamhar akbar

Photo: Gusti Jamhar Akbar

Harapkan Ada Generasi Penerus

BANJARMASIN – Tentunya dalam memberikan penghargaan, tidaklah sembarangan. Untuk lebih mendalami mengapa Yayasan Mendulang (YM) menetapkan Gusti Jamhar Akbar layak mendapatkan penghargaan Borneo Award (BA) di 2011 ini, Mata Banua kembali menyusuri perjalanan hidup seniman tua yang tersisa di kota Banjarmasin dan masih bisa memperdengarkan seni sastra lisan balamutnya.
Lamut, sebuah tradisi berkisah yang semakin tergerus jaman, lamut adalah salah satu kesenian yang sarat dengan pesan-pesan kehidupan/ nasehat, nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Menyimak perjalanan seni balamut Jamhar merupakan sesuatu hal yang luar biasa. “Aku berharap ada generasi yang akan meneruskan tradisi seni balamut ini, agar tidak menjadi catatan sejarah tanpa tokoh yang akan melantunkannya” katanya.
Gusti Jamhar Akbar, lahir 7 Nopember 1942. Pekerjaan lainnya adalah sebagai tukang, dari sanalah Jamhar menghidupi anak, istri dan cucunya di Alalak Selatan, apabila tidak ada yang memintanya memperdengarkan cerita lamut.
Karena terbiasa mendengar Raden Sirin membawakan lamut, Gusti Jamhar dari kecil telah hapal semua isi dari cerita lamut. Kurang lebih pada tahun 1951, mulai umur 9 tahun Gusti Jamhar telah berani membawakan cerita lamut ditengah orang banyak.
Jamhar kemudian memperlihatkan sebuah catatan silsilah keluarganya. Ia berkata “bapakku adalah Raden Sirin bin Raden Basir Tamban Sari Begawan bin Raden Ngabe Jaya Nagara.
Dari Raden Ngabe inilah yang pertama mengenalkan lamut di tanah Kalimantan Selatan. Berawal dari pertemuan Raden Ngabe dengan pedagang China pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia mendengar alunan syair China. Dalam pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan syair China tersebut.
Sejak itulah Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, setelah diadaftasi dengan kebudayaan Banjar. Lamut mulai berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini,  selanjutnya lamut mendapat iringan terbang” ujarnya.
Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair-syair dan pantun hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dan sastra Banjar lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam penyebaran Islam di masyarakat Banjar. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Menurut Jamhar, cerita lamut mempunyai pakem tersendiri, tiada beda dengan cerita dalam pewayangan. Pakem lamut yaitu cerita kehidupan Awang Salenong, raja pertama di Palinggam Cahaya. Kemudian disambung dengan cerita kehidupan dari anak Awang Salenong yaitu Raja Bungsu.
Lalu dilanjutkan dengan keturunan berikutnya, Kasan Mandi, Bujang Maluwala, Bujang Busur, Bujang Laut, Bujang Sakti, Bujang Jaya, Ambung Sakti, Gagak Surawijaya, Naga Sekar Ladri, Bambang Teja Arya, Bambang Indra Kelana, Bambang Indra Perkasa, Bambang Jaya Santika, Brama Sahdan, dan Parkesit (konon adalah raja di Kutai).
“Apabila dimainkan keseluruhan pakem, akan memakan waktu selama 28 malam, yaitu dari pukul 8 malam hingga pukul 5 pagi, kurang lebih 10 jam” ungkapnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar