Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Minggu, 25 Desember 2011

130311-minggu(senin)-kalsel 2030 (Dm.180311)


Ramalan Penyair Untuk Kalsel 2030

BANJARMASIN – Penyair adalah orang yang mengawasi, mengamati, menyimak dan mencatat perjalanan suatu keadaan. Semua data yang telah dikumpulkan penyair menjadi satu dalam perasaan, sehingga dengan intuisinya gambaran masa depan terlahir dalam sebuah karya.
            Minggu (13/30) dalam perbincangan dengan Micky Hidayat salah satu penyair Kalsel, meramalkan sebuah bencana besar yang akan terjadi di Kalsel yang ia tuangkan dalam karya puisinya yang berjudul SOS Kalimantan Selatan!.
            Pada Antologi Sajak-sajak Peduli Lingkungan Hidup Penyair Kalsel (April 2010), puisi Micky ini dijadikan Epilog, dengan judul Kalimantan Selatan 2030 Kemudian. Puisi yang menceritakan sebuah bencana yang akan dialami oleh Kalsel, bila kelestarian lingkungan hidup tidak dipedulikan. Puisi yang ditulisnya pada tahun 2007 yang lalu, selaras dengan kejadian dewasa ini, banyaknya fenomena bencana banjir yang dialami daerah-daerah di Kalsel.
Micky kemudian membacakan puisinya “Teruslah perkosa aku/ senafsu-nafsu rakusmu/ tebas dan cabik tubuhku/ sebirahi-birahi erangmu/ cakar dan bongkar isi perutku/ sepuas-puas raungmu/ Lemparkan jasadku/ dari ketinggian jurang menganga/ hingga rohku melayang-layang di udara/ melintasi gunung-gunung dan samudera tak bernama/ menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara.
Renungkanlah! Sebuah  peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah kemanusiaan, betapa  tragis dan memilukan: tahun 2030 nanti, jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang semena-mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan yang adil apalagi beradab terhadap tubuhku.
Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kurendam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kutenggelamkan. Jangan pernah kau cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kutenggelamkan dan lenyap tak ada yang tersisa hingga hilang dari peta kemanusiaan.
Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam. Jangan kau sesali dan tangisi lagi tragedi alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuhlantakkan, kuhancur-leburkan! Jangan kau cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap kutenggelamkan. Tiada guna lagi kau cari kapal Nuh penyelamat nyawamu. Jangan kau cari lagi rahim kehidupan, sebab kehidupan telah tiada. Semuanya telah kutuntaskan!
Maka terimalah karmaku – ini bukan sekadar kiamat qubra/ Tapi sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosamu sebagai manusia” ujar Micky mengakhiri pembacaan puisinya.
Menurut Micky “kata ‘aku’ dalam puisi ini adalah kata ganti dari tanah Kalsel yang marah atas kerusakan yang dialaminya dan melalui bencanalah kemarahan itu dilampiaskan.
Ia menegaskan “inilah bencana yang akan dialami oleh Kalsel bila kelestarian lingkungan hidup tidak dipedulikan” pungkasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar