Photo: mb/ara
CEMAS - Romantisme budaya yang kian cemas oleh degradasi kapitalisme global dalam pameran lukis Barito Sign
Barito Sign Adalah Kritik Perubahan Sosial Budaya Banjar
Menurut M Agus Burhan kurator Barito Sign, melalui telepon pada Rabu (13/7) siang mengatakan “Barito Sign dalam pameran ini, bukan sekedar menunjukkan tempat atau batasan pelukis-pelukis daerah yang dipamerkan, tetapi untuk mengungkap berbagai problem kultural wilayah lewat karya yang dipamerkan.
Kalsel atau khususnya Banjarmasin , di masa lalu dikenal sebagai kawasan dengan kebudayaan sungai. Habitat kebudayaan berbasis sungai, dapat dilihat pada fakta kebudayaan mental, sosial maupun visual yang dihasilkan masyarakat Banjar.
Fakta mental yang bersumber dari berbagai mitos, legenda, atau juga filosofi, ungkapan-ungkapan yang hidup dalam tradisi masyarakat banjar, seperti balarut banyu. Begitu pula fakta sosial yang terwujud dalam adat dan ritus, yang dipraktekkan dalam kehidupan, dan menjelma menjadi ikon dan simbol dalam artefak berupa ornament Banjar” ujarnya.
Lanjutnya “pemaknaan itu terus berubah seiring degradasi alam, akibat kapitalisme global yang menjangkau ke segenap pelosok, dan akibat pembangunan yang kehilangan orientasi basis kebudayaan.
Oleh karena itu, Barito Sign dimaknai sebagai upaya pencarian pada fakta-fakta perubahan seni rupa Kalsel. apakah ada perubahan orientasi pengelolaan dan kreativitas yang bersifat lokal kearah yang lebih modern? Dan apakah juga ada perubahan ekspolorasi dan pencapaian tema pada karya-karya senimannya? Inilah yang kita tampilkan dalam pameran ini” katanya.
Sementara itu, Hajriansyah cokurator Barito Sign, sebelumnya juga pernah mengatakan kepada Mata Banua “Banjarmasin sebagai ibu kota Kalsel, merupakan muara dari peristiwa intertekstualitas budaya, baik yang tradisional maupun yang modern, saling tumbuh dan mempengaruhi, lalu mendesiminasi ke berbagai tanda di daerah sekitarnya.
Permainan tanda dalam ornament-ornament, pada akhirnya menjadi sekedar ornament lepas, dari makna-makna yang bergantung padanya. Dan sebagai sebuah peristiwa budaya, entah dalam lukisan “Penari Baksa”, Tradisional”, “Penganten Banjar” atau yang kontemporer sekaligus, seperti dalam “Rumah Kedua”, menjadi penghibur dalam romantisme budaya, yang kian cemas oleh degradasi kapitalisme global dewasa ini” pungkasnya. ara/mb05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar