Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

130911-selasa(rabu)-perjalanan mamanda (Dm.di berita kaki)

Photo: mb/ara

TRADISI – Pementasan Mamanda Tradisi yang digelar oleh FKIP STKIP PGRI Banjarmasin di gedung pertunjukan Balairung Sari Taman Budaya Kalsel, mengangkat naskah karya Drs Sirajul Huda HM, dengan judul Kumala Naga Mirah Silautama

INOVASI – Sirajul Huda tampil dalam Pekan Kemilau Banua Seribu Sungai, dengan menggelar Mamanda Dinas, sebagai inovasi dari Mamanda Tradisi

Perkembangan Seni Drama Pertunjukan Khas Banjar
Mencari Warna Baru Untuk Mamanda Tradisi

Kalau kita tidak berani melakukan inovasi, akhirnya kesenian tradisi kita, akan kalah bersaing dengan kesenian modern.

PERKEMBANGAN zaman dan semakin beragamnya etnis di Kalsel, akan mempengaruhi kesenian daerah. Bertambahnya etnis pendatang dari luar Kalsel, yang sudah pasti membawa kesenian daerah mereka sendiri, harus disikapi dengan bijaksana.
            Apabila orang Banjar tidak menyikapi hal ini, ada kemungkinan kesenian tradisional Banjar, tergeser kepopulerannya di daerah sendiri. Sehingga lambat laun semakin terlupakan, dan hanya menjadi catatan sejarah.
            Inovasi dan kreasi pada kesenian tradisi Banjar, merupakan suatu sikap yang harus diambil, oleh pelaku seni tradisi Banjar. Inovasi bukan berarti secara total menghilangkan akar, dan ciri khas dari kesenian tradisi tersebut, namun memberikan warna baru pada tampilan. Kesegaran baru yang pada akhirnya, menimbulkan kegairahan dan rasa iginan tahu dari generasi muda, pada tradisi yang sebenarnya.
            Mamanda adalah salah satu kesenian tradisional Banjar, yang kini terus berusaha mengeksiskan dirinya, dan mulai bertransformasi dalam warna baru, diantara kritikan terhadap perubahannya.
Kesenian mamanda sudah lama berkembang di Kalsel, terutama di perdesaan. Alur ceritanya gampang disesuaikan, dengan keadaan sehingga cocok untuk ditampilkan dalam berbagai perayaan, seperti pesta perkawinan, panen, maupun hari-hari besar lainnya. Pada masa kerajaan Banjar, kesenian Mamanda sangat populer.
            Mamanda adalah seni teater, atau pementasan tradisional masyarakat Banjar. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan lenong (kesenian Betawi), dan ludruk atau ketoprak (pada masyarakat Jawa), karena adanya kontak komunikasi yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton, menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu, yang dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
            Menurut Drs Mukhlis Maman pemerhati seni budaya Banjar, pada Kamis (7/7) malam “istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja.
            Mamanda secara etimologis, terdiri dari kata mama atau mamarina yang berarti paman, kemudian kata nda yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu sapaan kepada paman yang dihormati, dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan Banjar” ujarnya.
            Lanjut Mukhlis “tradisi cerita dalam Mamanda, selalu menghadirkan tokoh tetap seperti wajir, mengkubumi, sultan, panglima perang, perdana menteri, permaisuri, puteri raja, pangeran, pengawal kerajaan, hadam, jin, inang, perampok dan orang kampung. Nuansa cerita seputar kerajaan inilah yang menjadi ciri khas dari mamanda, sehingga seperti menjadi sebuah pakem.
            Ciri khas lain adalah pada busana para pemain, musik pengiring seperti gendang panjang (babun), sebuah gong kecil (kempol), dan sebuah biola (piul). Musik ini, sebagaimana sandiwara, digunakan untuk mengiringi tembang dari sultan, atau hulubalang maupun dalam persembahan lagu, yang diselenggarakan di istana. Kadang-kadang mamanda juga diselingi dengan lagu-lagu keroncong, atau irama melayu dari penyanyi dan grup orkes, yang menyertai pementasannya” katanya.
            Dari beberapa sumber menceritakan bahwa Mamanda, yang cikal bakal kelahirannya, berasal dari datangnya rombongan pedagang bangsawan Malaka pada abad ke-18, ke tanah Banjar pada 1897. Rombongan ini juga memperkenalkan bentuk kesenian baru, yang bersumber dari syair Abdul Muluk Kedatangan rombongan ini, dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa.
            Pada awalnya oleh masyarakat Banjar pada waktu itu, kesenian ini di beri nama Komedi Indra Bangsawan. Kemudian karena persinggungan kesenian lokal di Banjar, melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek, atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini terus berkembang pada lagenda rakyat dan cerita rakyat. Istilah Badamuluk pun berganti dengan sebutan Bamanda atau Mamanda.
Di akhir 2010, Mata Banua mendengar kabar, bahwa Drs Sirajul Huda HM ingin mementaskan kesenian Mamanda, tapi dengan  nuansa tampilan baru dalam bentuk yang lebih modern. Keinginan tersebut, mendapat kritikan dari beberap tokoh Mamanda di Kalsel, yang tidak setuju terhadap perubahan dari kesenian tradisi.
Kekakuan para pelaku tradisi terhadap pakem kesenian, menyebabkan banyak kesenian tradisional, kalah bersaing dengan kesenian modern, atau kesenian tradisional dari daerah lain yang masuk di Kalsel.
Kekakuan memegang tradisi yang menyebabkan generasi muda, takut untuk berinovasi dan berkreasi, terhadap kesenian daerah Banjar.
Jumat, 8 Juli 2011 yang lalu, pada pukul 20.00 Wita dalam Pekan Kemilau Banua Seribu Sungai (PKBSS), di Gedung Balairung Sari Taman Budaya (TB) Kalsel, pementasan mamanda yang nernuansa kekinian dari tokoh tari daerah Kalsel, Sirajul Huda jadi di pagelarkan. Mamanda ini dinamakan Mamanda Dinas.
Persembahan Mamanda Dinas yang berjudul Taparukui dalam PKBSS, adalah untuk mewakili daerah Banjarbaru. Isi naskah dibuat oleh Sirajul Huda sendiri, menceritakan tentang sebuah desa di Banjarbaru, dengan tema pemerataan pendidikan.
Alkisah, anak kepala desa yang merasa sedih melihat kawan-kawan di desanya,  tidak bisa melanjutkan pendidikan karena kekurangan biaya, hingga akhirnya ia meminta kepada ayahnya, untuk membantu anak-anak desa tersebut, agar bisa kembali melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Mengenai inovasi mamanda dan kritikan yang diterimanya, Senin (11/7) sore, Sirajul Huda menuturkan “rencana pementasanku ini, memang sudah lama banyak mendapat kritikan. Tapi kalau kita tidak berani melakukan inovasi, akhirnya kesenian tradisi kita, akan kalah bersaing dengan kesenian modern. Atau kesenian dari daerah lain yang masuk di Kalsel.
Di Banjarbaru, warganya multi etnis, terutama dari etnis Jawa, yang tentunya mereka membawa tradisi kesenian sendiri, seperti ketoprak. Kalau hanya ketoprak yang ditampilkan, bagaimana dengan kesenian Mamanda kita.
Bentuk Mamanda Tradisi, akan sulit diterima oleh masyarakat yang multi etnis, juga oleh masyarakat modern. Oleh sebab itu perlu sedikit modifikasi baru, tetapi tidak merubah akar tradisinya” ujarnya.
Lanjut Rajul (panggilan akrabnya) “pagelaran kemaren, adalah pertama kalinya Mamanda Dinas ditampilkan, di atas panggung Taman Budaya Kalsel. Modifikasinya sendiri hanya pada kostum, sebutan nama pemain, dan nyanyian yang biasanya dibawakan raja, diganti dengan tarian.
Kalau pada Mamanda Tradisi, menggunakan suasana kerajaan dengan sebutannya masing-masing, tapi pada Mamanda Dinas ini, disesuaikan dengan keadaan pemerintahan sekarang. Kalau dulu adalah raja, maka sekarang ada gubernur, walikota, bupati, camat ataupun lurah. Oleh karena itu aku sebut dengan Mamanda Dinas.
Apakah nantinya mamanda ini disebut Mamanda Modern atau yang lainnya, itu tidak masalah. Jadi walau ada kritikan, kita tetap maju untuk memberikan nuansa baru, agar kesenian tradisi kita terus berkembang dan dikenal luas oleh masyarakat” pungkasnya. ara/mb02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar