Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Minggu, 25 Desember 2011

160211-rabu(kamis)-kualitas air dari walhi


Photo: Dwitho Frasetiandy

DAERAH TANGKAPAN AIR DI KALSEL SEMAKIN SEDIKIT

BANJARMASIN – Semakin sedikitnya daerah hijau yang berfungsi untuk menangkap dan menyaring air hujan, tentunya membuat kualitas air tanah juga menurun kualitasnya. Daerah hijau atau kawasan hutan yang telah beralih pungsi baik untuk perumahan atau pun untuk pertambangan adalah faktor penyebab utama.
Menurut Dwitho Frasetiandy Manager Kampanye WALHI, pada Minggu (13/2) mengatakan “indeks kualitas lingkungan Kalsel saat ini pun menduduki peringkat ke-26 dari 28 provinsi di Indonesia dengan nilai tutupan vegetasi hanya 39,24% dan kualitas air hanya 8,4%.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI nomor SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang penunjukan kawasan hutan provinsi Kalimantan Selatan bahwa kawasan hutan di provinsi Kalimantan Selatan yang semula ± 1.839.494 hektar  (49,03% dari luas total kawasan) berubah menjadi  ± 1.779.982 ha atau 47,44% dari luas total kawasan. Lalu bandingkan saja dengan jumlah luasan total konsesi yang sudah diberikan.
Perubahan tutupan kawasan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan kawasan sebagai daerah tangkapan air. Ini menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang terlibat sebagai pengambil kebijakan dalam pengelolaan kawasan khususnya, dan negeri ini umumnya” ujarnya.
Padahal menurut Andy “pada dasarnya, cetak biru pengelolaan kawasan pernah dikeluarkan pemerintah pada tahun 1986 melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang kemudian diikuti dengan Padu Serasi. Inilah salah satu cetak biru tataruang kawasan terbaik yang pernah dimiliki negara ini. Didalamnya telah termuat bagaimana kawasan tersebut diperuntukkan dan difungsikan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.
Namun sebagai pemegang mandat yang menerbitkan peraturan tersebut, pemerintah justru tidak pernah melihat kembali rancangannya dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Hampir seluruh kebijakan maupun pendekatan perencanaan yang dibuat pemerintah bersifat subyektif.
Bergantung dengan pengalaman pribadi masing-masing pemangku kebijakan disegala level. Otomatis pula, hasil rancangan pengelolaan kawasan didasarkan pada sudut pandang si pemangku kebijakan, yang cenderung berdasarkan pertimbangan ekonomi dan menafikan faktor-faktor lingkungan, sosial, budaya dan ekologi setempat” pungkasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar