Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

160911-jumat(sabtu)-Sudut Pandang Sastra (Dm.200911)

Mengubah Sudut Pandang Sastra

BANJARMASIN – Untuk meningkatkan sastra di Kalsel, tidak terlepas dari penerbitan buku-buku sastra, baik antologi puisi, kumpulan cerpen, kumpulan cerita rakyat, novel dll.
            Sainul Hermawan, staf pengajar di FKIP Unlam, pada Rabu (14/9) mengatakan “mengenai cara meningkatkan sastra di Kalsel, pernah aku paparkan dalam diskusi sastra pada Aruh Sastra III 2006, di Kotabaru.
            Tetapi, sesuatu hal mendasar sebagai langkah awal menuju pemberdayaan penerbitan sastra, adalah dengan mengubah sudut pandang kita tentang sastra. Bahwa sastra sebaiknya kita pandang sebagai aktivitas kolektif, komunal dan kegiatan bersama. Bukan semata kreativitas pribadi atau individual.
            Sastra bukan semata urusan sastrawan (sebagai kreator), ia juga urusan pembaca (apresiator), kritikus, pemerintah, lembaga pendidikan dan dunia usaha (sebagai motivator, bahkan donator). Apabila semua elemen ini saling bersinergi, dapat menjadi jembatan suatu penerbitan sastra.
            Kemudian adanya kebijakan strategis dari pemerintah, dalam hal menumbuh kembangkan seni sastra yang berpotensi pula dalam menumbuh kembangkan budaya membaca, menulis, berpikir dan kritis” ujarnya.
            Lanjut Sainul “perlunya publik sastra Kalsel, untuk mengubah sudut pandang, setidaknya dalam rangka merespons dua perubahan besar.
            Pertama, perkembangan teknologi informasi dan publikasi, yang semakin menyebar dan tidak lagi terpusat. Perubahan ini telah memungkinkan banyak pihak mampu merancang, menyusun dan mempublikasikan, bahkan memasarkan sendiri karya mereka dengan biaya yang relatif murah.
            Eksistensi selanjutnya ditentukan oleh pihak penerbit yang mandiri, mampu mengelola publiknya untuk menanggapi, mengonsumsi produk seninya. Perkembangan di bidang ini, cepat atau lambat akan merobohkan sentralitas seleksi karya yang pernah terjadi dalam kanon sastra Indonesia.
            Kedua, perubahan geopolitik yang semakin terdesentralisasi, yang diikuti semangat berotonomi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berkesenian.
            Tugas untuk mengangkat harkat dan martabat kesenian daerah, tak sepenuhnya menjadi tugas pusat. Karena lembaga-lembaga kesenian daerah, punya kesempatan besar, untuk memperjuangkan paradigma berkesenian baru secara kolektif.
Serta mengangkatnya menjadi aset daerah yang dapat dijual, untuk pencitraan positif Kalsel di mata bangsa dan dunia, yag pada akhirnya untuk mewariskan rumah sastra yang nyaman bagi anak-anak cucu kita” pungkasnya. ara/mb05
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar