Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

180911-minggu(senin)-mula sastra dr Dimas.1 (Dm.200911)

Photo: Dimas Arika Mihardja

Awal Mula Seni Sastra

BANJARMASIN – Dalam bahasa Plato, seni merupakan bayangan keindahan sejati. Y ang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi  kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.
            Pada perbincangan Mata Banua via telepon, Jumat (16/9) dengan Dimas Arika Mihardja (nama pena), yang rencananya akan datang sebagai pembicara dalam Aruh Sastra VIII Kalsel pada Sabtu sore 17 September 2011. Menurut Dimas “pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau, telah mencoba menerangkan apakah seni itu.
Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia, yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang  transendental,
Sehingga seni itu sesuatu yang luhur, sebab watak seni sastra menuntut kejujuran    (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur, dan bukan dari  ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan kepedihan).
Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada arus bawah hidup, dan memunculkan kepermukaan, undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini di kenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama)” ujar sastrawan dan sebagai Dosen, serta Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah di FKIP Universitas Jambi
Lanjut Dimas yang mempunyai nama asli Dr Sudaryono MPd “haru itu sendiri, tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari), yang menyebabkan orang  tersentak, dan menyebut: Allah. Penyebutan nama Tuhan atau zikir, dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.
Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain, ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah, pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya, yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Dalam hal ini, tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik, dengan tata ciptaan-Nya.
Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan untuk menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi” ulasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar