Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Minggu, 25 Desember 2011

180211-jumat(sabtu)-definisi sastra banjar1 (Dm.220211)


PERDEBATAN DEFINISI SASTRA BANJAR

BANJARMASIN – Bermacam definisi tentang sastra Banjar, baik yang sudah ditetapkan pemerintah, maupun dari pemikiran para budayawan dan sastrawan Banjar itu sendiri. Diantara perdebatan itu, akan terlihat pendapat mana yang paling tepat untuk mendefinisikan sastra Banjar.
            Tajuddin Noor Ganie, M.Pd, menceritakan kembali muasal perdebatan tentang definisi sastra Banjar, katanya “dimulai pada Agustus 2000 yang lalu, di kota Banjarmasin berlangsung Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar, salah satu hasilnya adalah rumusan tentang sastra Banjar yang berbunyi sebagai berikut: sastra Banjar adalah salah satu ciri sastra daerah yang hidup di Kalsel dengan ciri-ciri berbahasa Banjar, bersifat lisan, telah hidup dan berkembang selama dua generasi, dan berisi nilai-nilai lokal dan universal (Rumusan Komisi C Bidang Sosial Budaya)”
            Menurut Tajuddin “definisi sastra Banjar yang dirumuskan komisi C tersebut, sesungguhnya sudah menjadi semacam pengetahuan umum yang sering diulang-ulang. Semua ciri yang disebutkan dalam definisi sastra Banjar di atas merujuk kepada identifikasi sastra Banjar sebagai karya sastra klasik yang bersifat lisan, seperti: andi-andi, bacaan (mantra), bapandung (monolog), cerita rakyat (mitologi, legenda, hikayat, kisah, dongeng), japin carita (teater), lamut (prosa liris), madihin (puisi), mamanda (teater), pantun, syair, dan surat tarasul (surat cinta yang dimuati dengan puisi puja-puji untuk kekasih hati). Yang definisi ini sejalan dengan Jamal T. Suryanata yang hanya membatasi sastra Banjar pada karya sastra berbahasa Banjar saja” ujarnya.
Kemudian lanjut Tajuddin “sehingga, definisi tersebut telah menjadi perdebatan beberapa budayawan dan sastrawan dimulai dari Desember 2005. Perdebatan disulut oleh Sainul Hernawan yang tidak setuju dengan definisi sastra Banjar Jamal. Menurut Sainul jika identitifikasi sastra Banjar yang demikian itu dipaksakan maka sastra Banjar akan menjadi rumah yang eksklusif dan sulit sekali dimasuki oleh karya sastra berorientasi sosiokultural Banjar dan ditulis oleh warga Banjar dalam bahasa Indonesia”.
Dari perdebatan budayawan dan sastrawan tersebut, Tajuddin menyimpulkan bahwa “secara garis besar para sastrawan dan akademisi yang terlibat dalam perdebatan tersebut terpolarisasi ke dalam dua kubu, yakni kubu pertama yang mengusung pendapat bahwa bahasa Banjar merupakan ciri mutlak yang harus ada dalam sastra Banjar, tanpa bahasa Banjar berarti bukan sastra Banjar, posisi bahasa Banjar tidak dapat digantikan oleh bahasa lain (Jamal T. Suryanata dkk).
Kubu kedua yang mengusung pendapat bahwa bahasa Banjar bukan merupakan ciri mutlak yang harus ada dalam sastra Banjar, sastra Banjar dapat saja ditulis dalam bahasa lain selain bahasa Banjar, posisi bahasa Banjar dapat saja digantikan oleh bahasa lain (Sainul Hernawan dkk).
Oleh karena itu Tajuddin menyimpulkan “jika definisi sastra Banjar diibaratkan sebagai pintu masuk ke dalam rumah pustaka sastra Banjar, maka sesungguhnya pintu masuknya tidak cuma ada dua, tetapi ada beberapa pintu. Tidak setiap pintu dapat dimasuki begitu saja tanpa pssword sama sekali, karena setiap pintu memiliki ketentuan yang mengatur siapa saja sastrawan yang dapat memasukinya, dan siapa saja sastrawan yang tidak dapat memasukinya” ungakapnya pada Jumat (18/2). ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar