Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

220911-kamis(jumat)-gaya bahasa sastra dr Alwy (Dm.240911)

Photo: Ahmad Syubbanuddin Alwy

Karya Sastra Membangun Bahasa Sendiri

BANJARMASIN – Karya sastra menjadi unik dan menarik, karena sering kali mempunyai gaya bahasa tersendiri dari penulisnya. Gaya bahasa yang terkadang tidak bersesuaian dengan kaidah-kaidah ejaan atau penulisan yang ditetapkan oleh suatu negara, khususnya di Indonesia dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
             Ahmad Syubbanuddin Alwy, sastrawan dan penyair nasional yang datang ke bumi lambung Mangkurat, sebagai pembicara dalam Aruh Sastra VIII 2011 Kalsel di Barabai, pada Minggu pagi 16 September 2011 yang lalu.
            Alwy kemudian menuturkan kepada Mata Banua, tentang pengertian sastra dan gaya bahasa yang digunakan “sastra dengan perspektif sederhana merupkan bagian dari subsistem dalam anasir-anasir pemikiran, yang mengacu pada medan pergulatan gagasan serta ide-ide.
            Dalam konteks tersebut, sastra membentuk sekaligus membangun perspektif dirinya, melalui logika bahasa yang dihadirkan sebagai konsentrasi teks-teks, dengan arsitektur bahasa tersendiri.
            Oleh karena itu, sebagai termilogi yang lazim diajarkan dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah, hingga perguruan tinggi, dideskripsikan menjadi persepsi bahasa yang indah, yang dinisbatkan sebagai simpul kata susastra” ujarnya.
            “Maka melalui simpul kata susastra atau kesusastraan, siapapun dapat melakukan proses pembacaan terhadap teks-teks sastra yang berbeda, atau bahkan berhadap-hadapan dengan teks-teks lain.
            Bahasa dalam teks-teks karya sastra, kemudian diandaikan melewati cara pengucapan yang khas, dan pribadi dari seseorang sastrawan, dalam nenuliskan atau menciptakan karya sastra. Penyair misalnya, akan membangun diksi, logika, bahasa, stilistika, dan pendalamannya sendiri. Sehingga akan membentuk pemahaman, dan pengalaman bagi pembacanya.
            Pengandaian cara pengucapan yang khas, inilah yang membuat karya sastranya menjadi spesifik, dengan sistematika serta logika berpikir melewati batas nalar kelaziman. Sehingga dari proses pemahaman teks-teks karya sastra, pembaca tidak lagi diposisikan sebagai subkek yang fasif dalam mendeklamasikan teks secara linear, melainkan subjek yang aktif dalam mengkonstruksi teks melalui berbagai tafsir.
            Karena itu, kesusastraan ditafsirkan sebagai instrument dalam bahasa, yang mengindikasikan formula baru dari teks-teks yang akar, nalar sesuai latar bahasa yang mengambil proses kreatif penulisnya, menjadi bagian dari segugusan ide-ide, maupun pengalaman yang bersentuhan secara langsung ataupun tidak langsung, menjadi pokok bahasan pikiran utama” ulasnya. ara/mb05
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar