Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2011

220911-kamis(jumat)-polemik editor (Dm.260911)

Photo: Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalsel 2011

Polemik Baru Dalam ASK VIII

BANJARMASIN – Ketika membaca sebuah buku, apalagi itu antologi puisi, umumnya jarang ada pembaca yang memperhatikan, atau menyimak halaman yang memuat kata pengantar, maupun sekapur sirih editor. Biasanya pembaca langsung mencari daftar halaman dan isi dari antologi tersebut.
            Berbeda dengan kalangan intelektual atau sebagian sastrawan senior. Hal-hal yang dianggap remeh seperti kata pengantar maupun sekapur sirih editor, tidak akan luput dari perhatian. Karena hal itu menjadi pusat pokok (atau kesimpulan), dari latar belakang maupun isi sebuah buku.
            Seperti itulah yang terjadi, ketika membaca sekapur sirih editor, dalam Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalsel (ASK) 2011 di Barabai, yang berjudul Seloka bisu batu benawa, yang berisi 105 penyair Kalsel dengan 151 judul puisi, dan ketebalan buku sekitar 225 halaman.
            “Apa maksudnya ini?” kata beberapa sastrawan sepontan, diantaranya Hamami Adaby dan Aliansyah. Saat membaca kalimat dari sekapur sirih editor, yang mengundang rasa tidak terima dan menambah polemik baru dalam ASK VIII ini. Kalimat yang dianggap tidak pantas tersebut, yaitu:
“Dari pengamatan saya selama menjadi anggota dewan juri lomba cipta puisi, cerpen, cerita rakyat dan editor buku-buku sastra (berbahasa Indonesia maupun berbahasa Banjar), sebagian besar penulis sastra kita “tidak lulus” dalam ejaan, struktur kalimat, fungtuasi, penulisan kata tempat, kata kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan “penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar”.
Itulah yang juga terjadi saat saya menyeleksi. Setelah memilah (dan memilih) “puisi yang kurang buruk dari yang terburuk” (atau “yang terbaik dari yang kurang baik”, terserahlah), saya harus tatak buntut, buang kapala, manyiangi – atawa manggayat, mangatam wan mahampalas lagi teknis tata bahasa tersebut” tulis editor.
            Di lain pihak, Mukhlis Maman berkomentar “kalimat seperti ini menimbulkan banyak persepsi yang negatif dari orang yang membacanya. Sepatutnya editor lebih berhati-hati dalam menuliskannya.
            Kalau ia menulis pengantar dalam antologi yang memang untuk lomba, masih bisa diterima bila ia mengedit karya puisi peserta, dan mengeluhkan persoalan yang dihadapinya. Tapi dalam buku yang khusus berisi sastrawan Kalsel, sangat tidak tepat.
            Sepengetahuan aku, untuk karya cerpen, prosa, esai, opini dan novel, bila ada kalimat yang tidak sesuai, dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, editor memang berhak mengedit dan memperbaikinya. Tapi dalam karya puisi, lain ceritanya. Setiap kata, kalimat, tipografi dll, mempunyai makna tersendiri bagi penulisnya.
            Dan apabila antologi ini, dibaca oleh sastrawan nasional yang juga membaca sekapur sirih editor, ada kemungkinan imej yang berkembang adalah banyak penyair Kalsel itu buruk sebagai penulis” ujarnya pada Selasa (22/9) siang. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar