Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Sabtu, 24 Desember 2011

310111-senen(selasa)-dundam (Dm.010211)

Diperlukan Kebijakan MUI

BANJARMASIN – Kesenian tradisi dan penerapan norma agama, seringkali saling kontradiksi. Sehingga sebagian kesenian tradisi tersebut secara perlahan menghilang karena tidak ada lagi generasi penerusnya. Dundam adalah salah satu kesenian yang semakin langka, yang dikhawatirkan turut menghilang dari bumi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Sabtu (29/1) Mukhlis Maman mengungkapkan “sebagian kesenian yang terlanjur pada waktu dulu dianggap melanggar norma agama, sehingga semakin langka. Untuk ini, sangat diperlukan kebijaksanaan ulama-ulama di masa kini, terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ada di Kalsel, bagaimana seharusnya nasib kesenian tersebut.
Syair-syair Dundam yang yang berisi cerita dewa-dewa dan penggunaan kemenyan saat acara berlangsung, dianggap tidak sesuai dengan norma agama, sehingga semakin jarang ditampilkan dan semakin kehilangan generasi penerusnya.
Yang harus diambil dari cerita-cerita syair seperti itu, bukan dewa-dewanya tapi adalah makna dan nasehat kehidupan yang dikandungnya. Nasib kesenian balamut tidak jauh beda, syair-syairnya juga menceritakan tentang dewa. Hanya saja balamut masih bisa bertahan, walau semakin kritis pula keadaannya. Yang lebih beruntung nasibnya adalah bawayang” katanya.
Menurut Mukhlis “Dundam adalah kesenian yang berasal dari tanah Banjar Kalsel. Kesenian Dundam atau dalam kata kerjanya Badundam, dikatakan berasal dari ritual adat suku Dayak. Tapi adapula yang mengatakan turunan dari kesenian Lamut. Dundam sudah ada sejak 1500 Masehi dalam bentuk sastra lisan. Dundam diperkirakan berasal dari kata Memundang atau Mengundang tokoh-tokoh alam gaib.
Diperkirakan perkembangan kesenian ini berada pada daerah pedesaan di sepanjang sungai. Satu-satunya tempat yang masih ada kesenian ini adalah di Desa Lok Baintan Sungai Tabuk dan Pundun Daun Karang Intan, Kabupaten Banjar” ujarnya.
Tata cara penyajian, lanjut Mukhlis yaitu “pendundam duduk dengan perapian kemenyan yang harus tetap membara dan berasap. Sebelum cerita dimulai pendundam mengundang tokoh-tokoh alam gaib dengan disertai suguhan 40 macam kue khas Banjar. Semua proses dilakukan dalam keremangan gelap malam atau tanpa penerangan lampu.
Setelah penyajian awal selesai maka mulailah pendundam mengumandangkan dundam. Cerita yang didundamkan biasa merupakan cerita kerajaan antah berantah dengan berbagai macam tokoh fiksinya. Cerita tidak pernah dirancang terlebih dahulu tapi mengalir sesuai inspirasi yang datang saat mendundam.
Perbedaan antara Lamut dengan Dundam adalah pada Lamut, Palamutan menceritakan tentang Paman Lamut atau tokoh utama cerita, sedangkan pada Dundam, Pendundam sendiri yang berfungsi sebagai tokoh utama cerita.
Waktu penyajian Dundam biasanya dimulai pukul 20.00 atau 21.00 dan berakhir saat menjelang subuh. Dialog yang disampaikan dalam bahasa Banjar diselingi bahasa Indonesia atau Jawa kuno seperti dalam wayang” tutur Mukhlis. ara/mb05

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar