Isi Berita

Rilis yang di buat oleh ARAska dalam melaksanakan tugas sebagai Jurnalis

Jumat, 30 Desember 2011

050511-kamis(jumat)-persaingan pesantren


Persaingan Pesantren Dengan Pendidikan Sekuler

BANJARMASIN – Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang memiliki ketahanan hidup yang cukup tinggi. Tetapi kebanyakan pesantren bersifat kurang menzaman, sehingga agak lambat dalam kemajuan dan perubahan.
            Menurut Prof Dr H Mujamil Qomar, penulis dan pakar manajemen pendidikan Islam, dalam Seminar Regional Pendidikan Islam di Ponpes Modern Al-Furqan Banjarmasin, pada awal April yang lalu bahwa perlu dilakukan berbagai upaya untuk menjawab beragam problem yang dihadapi pesantren.
Mujamil menuturkan “pada masa penjajahan Belanda, pesantren menjadi lembaga pendidikan alternative bagi masyarakat pribumi, khususnya yang berada pada posisi akar rumput (gras root). Sehingga pesantren menjadi kompetitor bagi model pendidikan sekuler, yang diselenggarakan oleh penjajah Belanda di negeri ini.
            Pesantren telah terbukti melahirkan ulama-ulama besar, yang telah berjasa besar dalam berpartisipasi membangunan negeri ini bahkan telah melahirkan tokoh-tokoh nasional termasuk pendiri Negara RI” ujarnya.
            Seiring dengan kemerdekaan dan upaya memanfaatkan kemerdekaan, dalam kontek pengembangan pendidikan, maka pada 1950an pemerintah mendirikan banyak lembaga sekuler, sehingga saingan pesantren berpindah dari pendidikan kolonial Belanda ke pendidikan nasional yang dirintis pemerintah Indonesia sendiri.
            Bahkan saingan baru ini terasa lebih berat, sehingga pesantren-pesantren kecil banyak yang gulung tikar, akibat kebijaksanaan popularisasi pendidikan itu. Goncangan yang hampir sama dirasakan lagi oleh pesantren pada 1970an, ketika arus sekularisasi memasuki Indonesia secara besar-besaran.
            Kemudian, sekarang ini pesantren menghadapi problem yang lebih berat lagi, seperti kekurangan santri, waktu belajar santri, kualitas lulusan, menghadapi standar-standar pendidikan nasional, termasuk wajib belajar sembilan tahun. Lalu adanya perubahan kecenderungan pendidikan pada putra-putri kiai sendiri yang berdampak pada krisis kaderisasi dll” katanya.
            Ungkap Mujamil “demikian pula yang terjadi pada madrasah, yang menjadi lembaga pendidikan Islam kelanjutan pesantren. Madrasah dimaksudkan untuk mengintregasikan pendidikan pesantren dengan pendidikan sekuler. Sehingga nasib madarasah, juga menghadapi berbagai problem, mulai dari persoalan leadership, profesionalisme guru, kualitas siswa yang baru masuk (raw in put), proses pembelajaran, kualitas lulusannya (out put) dsb.
            Dalam upaya menjawab berbagai macam problem baik yang dihadapi pesantren, maupun madrasah itu, kini perhatian sedang dipusatkan pada ranah manajemen. Dan  manajemen yang baik, diyakini dapat memberikan pemecahan yang cukup signifikan, dalam mengatasi problem-problem tersebut” pungkasnya. ara/mb05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar